16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Wanita: Anak Sebagai Substansi Pada Kekerasan Terhadap Wanita

16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Wanita: Anak Sebagai Substansi Pada Kekerasan Terhadap Wanita
16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Wanita: Anak Sebagai Substansi Pada Kekerasan Terhadap Wanita (Foto : Kolase)

Antv – 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Wanita (25 November – 10 Desember 2023) merupakan momentum yang sangat tepat untuk mengkampanyekan perlindungan pada perempuan dan anak.

Selain meningkatkan pemahaman masyarakat di berbagai tingkat social, momentum ini membentuk komitmen dan solidaritas bersama untuk menghapus kekerasan dalam rumah tangga.

Pemahaman pada masyarakat yang terbatas atas bentuk-bentuk kekerasan dalam rumah tangga sebatas pemukulan, penganiayaan dan bentuk fisik lainnya.

Yang sebenarnya bentuk-bentuk kekerasan dalam rumah tangga juga mencakup kekerasan psikis, seksual dan penelantaran ekonomi.

Tidak jarang, anak dijadikan alat balas denda atau sandera oleh suami dengan cara pemisahan anak secara paksa, penguasaan dan penyembunyian anak dari ibu kandung sang anak.

Hal ini tidak jarang menyebabkan luka batin yang mendalam bagi sang ibu yang ditinggalkan dan hal ini merupakan salah satu bentuk kekerasan pada Wanita.

Kekerasan dalam rumah tangga masih dipandang sebagai permasalahan domestic dan mengalami delay in justice sehingga penghapusan kekerasan dalam rumah tangga memerlukan sinergisitas dari berbagai kalangan masyarakat, kementrian, instansi, lembaga dan aparat penegak hukum.

Anak Sebagai Alat untuk Melakukan Kekerasan Pada Wanita

Pemisahan anak dari ibu kandung sudah menjadi permasalahan social yang masih belum terselesaikan secara norma hukum dimana hal ini merupakan salah satu bentuk kekerasan pada Wanita.

Upaya kekeluargaan seperti mediasi, sering diandalkan oleh pemerintah untuk dapat menyelesaikan permasalahan KDRT ini.

Upaya mediasi dari berbagai instansi, Lembaga, hingga penegak hukum kerap kali tidak memberikan solusi atau jawaban atas permasalahan.

Upaya-upaya hukum yang dilakukan seperti perjuangan untuk mendapatkan putusan hak asuh anak yang putusannya kerap diabaikan oleh pihak lain.

Pemahaman aparat penegak hukum yang tidak merata dalam penanganan kasus anak ini kerap membuat laporan atas kasus pengambilan anak terkesan berjalan lamban hingga pelaku kekerasan dalam rumah tangga juga melakukan tindakan pidana lainnya semata-mata dalam pemisahan anak dari ibunya.

Dalam contoh kasus yang ada, pelaku kekerasan dalam rumah tangga melakukan tindakan penganiayaan, pengeroyokan, pemalsuan dokumen dan lainnya.

Salah satu contoh kasus pemisahan anak dan kekerasan dalam rumah tangga yang melebar hingga melibatkan banyak kementrian dan instansi negara hingga masuk ke persidangan pidana adalah kasus ibu S dari Bekasi.

Ibu S merupakan korban KDRT yang mendapatkan perlakuan KDRT fisik dan psikis dari pelaku. Putra nya dipisahkan paksa saat berusia 1 tahun 4 bulan dengan kondisi masih membutuhkan ASI.

Bahkan pelaku membawa pergi anaknya dengan menggunakan passport anak yang dibuat tanpa sepengetahuannya.

Luka batinnya semakin mendalam ketika mengetahui bahwa anaknya sudah tidak di wilayah hukum Indonesia.

Tidak hanya itu, KTP dirinya pun beralih domisili dari Bekasi ke Tangerang yang dikuasai dan digunakan oleh pelaku.

Pelaku sempat berganti nama hingga ke Mahkamah Agung dan mempersulit proses perceraian yang diajukannya sebagai “error in pesona” atau salah gugatan.

Ibu S juga mendapatkan tindakan kriminalisasi oleh sang pelaku dengan membuat 10 laporan polisi yang tersebar di Kepulauan Riau, Tangerang, Jakarta, Bekasi.

Diantaranya, Ibu S yang merupakan korban KDRT, dilaporkan kembali oleh pelaku dengan dugaan perbuatan KDRT psikis di Polresta Barelang Kepulauan Riau dan diproses hingga sidik oleh Polresta Barelang, Kepulauan Riau.

Menyuarakan kisah pilu dirinya sebagai pembelajaran Wanita di luar sana juga dijadikan sebagai bahan oleh pelaku untuk laporan dugaan fitnah dan pencemaran nama baik dengan UU ITE di Polda Kepulauan Riau.

Walaupun pelaku sudah menjadi tahanan di Lampung Timur, anak masih disembunyikan oleh pelaku dan keluarga pelaku.

Tuntutan jaksa penuntut umum pun hanya menuntut 2 tahun 6 bulan kurungan dari ancaman vonis 7 tahun.

Hakim pun memberikan pengalihan status tahanan dari tahanan rutan menjadi tahanan kota.

Ibu S sangat berharap Hakim dapat menjatuhkan vonis yang seadil-adilnya dan mampu memberikan efek jera bagi pelaku dan pembelajaran bagi masyarakat Indonesia.

Ibu S meyakini bahwa Hakim melihat secara jernih bahwa akibat dari perbuatan pidana pelaku ini tidak hanya menghilangkan hak asuh anak atas ibu S, namun juga berdampak pada tumbuh kembang psikis anak yang harus kehilangan sosok ibu bertahun-tahun.

Mendorong Pengesahan RUU Pengasuhan Anak Korban Perceraian

Pengesahaan RUU pengasuhan anak korban perceraian harus segera disahkan oleh pemerintah, tidak hanya untuk melindungi ibu atau anak, namun dengan pengesahan RUU pengasuhan anak korban perceraian ini dapat memberikan keadilan dan kepastian hukum.

Sebagai bentuk kepedulian perlindungan korban atas KDRT, perlu merangkul badan legislative serta badan yudikatif (kejaksaan dan pengadilan) untuk dapat mempertajam putusan vonis pelaku KDRT sehingga mampu membuat jera pelaku KDRT dan menjadi juga peringatan awal bagi calon pelaku KDRT.

Pembentukan satgas sebagai bentuk Kerjasama antar instansi negara sebagai perpanjangan tangan negara terdekat bagi masyarakat yang mengalami segala bentuk kekerasan dalam rumah tangga.

Pemahaman yang merata dan komprehensif atas penghapusan KDRT oleh aparat penegak hukum untuk mampu memproses laporan secara presisi, responsive dan akuntabel.
Menekan ‘delay in justice’ yang dapat semakin memperburuk jalannya proses penanganan perkara serta kerugian yang ditimbulkan kepada korban Wanita dan korban anak.