Budaya Megalitikum di Barat Sumatra

IMG_30Sep2019102845
IMG_30Sep2019102845 (Foto : )
Budaya megalitikum masih bisa ditemui di pulau Nias. Di sini orang membangun rumah tanpa memakai paku.
Nias adalah kepulauan  yang terletak di sebelah barat pulau Sumatra. Dan secara administratif berada dalam wilayah Provinsi Sumatra Utara. Pulau ini merupakan pulau terbesar dan paling maju di antara jejeran pulau-pulau di pantai barat Sumatra. Dihuni oleh mayoritas suku Nias (
Ono Niha) yang masih memiliki budaya megalitik. Daerah ini memiliki objek wisata penting seperti selancar, rumah tradisional, penyelaman, hombo batu (lompat batu). Anda yang penasaran dengan budaya megalitikum bisa berkunjung ke Nias.  Ada desa adat disana. Namanya desa Bawomataluo. Untuk menuju desa para pelompat batu itu, butuh waktu 3 jam dari Bandara Binaka di Gunung Sitoli. Atau 40 menit dati Teluk Dalam ibu kota Kabupaten Nias Selatan. Butuh beberapa kali hela napas untuk fasih mengucapkan ‘Bawomataluo’. Yang dalam bahasa Nias berarti bukit matahari. Sesuai dengan letaknya yang dibangun di atas bukit dengan ketinggian 324 meter di atas permukaan laut. DIbangun semenjak berabad-abad lalu. Desa Bawomataluo ditinggali oleh setidaknya seribu kepala keluarga. Masyarakat di dalamnya sangat memegang teguh nilai adat istiadat dari leluhur. Beragam pusaka budaya yang dulu dimiliki oleh para leluhur masyarakat Nias masih disimpan dan dirawat. Beberapa di antaranya adalah omo hada alias rumah adat tradisional. Oma hada terbuat dari kayu namun tanpa paku. Terdapat situs megalitikum. Pelestarian tari-tarian, hingga atraksi lompat batu alias hombo batu. Tidak heran, atraksi-atraksi tersebut menjadi magnet bagi para pelancong untuk singgah di desa di atas bukit ini. Warga yang tinggal di dalamnya terus melestarikan budaya Bawomataluo secara turun-temurun dari generasi ke generasi. Rumah-rumah adat di dalamnya juga diturunkan ke anak cucu. Begitu memasuki area desa Bawomataluo, umumnya pengunjung didampingi salah satu pemuda desa. Mereka mencari penghasilan hidupnya dengan menjadi pemadu wisata. “Waktu terbaik untuk foto di desa ini ya pada saat matahari terbit. Nanti kalau ada kesempatan lain, datangnya pukul 5 pagi pak,” kata pemandu wisata, Frans. Selain terkenal dengan atraksi lompat batu, desa ini juga terkenal dengan arsitektural serta patung-patung kuno. Maka umumnya pemandu wisata akan mengajak pengunjung untuk mengelilingi kampung. Jika beruntung, ada saat ketika upacara adat berlangsung. Sehingga bisa menyaksikan secara langsung termasuk saat ada salah satu warga yang sedang berduka. “Di sini juga memiliki tradisi potong babi jika tengah berkabung. Jika ada orang yang meninggal di sini, babinya ikut dipotong juga dan dibagikan ke seluruh warga desa" kata Frans. Sumber: Kementerian Pariwisata