Malam Nanti Digelar, Ini Sejarah Digelarnya Sidang Isbat untuk Tentukan Awal Ramadan dan Idul Fitri

Malam Nanti Digelar, Inilah Sejarah Terjadinya Sidang Isbat untuk Menentukan Awal Ramadan dan Idul Fitri
Malam Nanti Digelar, Inilah Sejarah Terjadinya Sidang Isbat untuk Menentukan Awal Ramadan dan Idul Fitri (Foto : Ilustrasi - Pixabay)

Ke depan, sejalan dengan peningkatan kinerja Kementerian Agama mungkin perlu dirumuskan kembali pelembagaan badan hisab dan rukyat.

Dalam konteks ini, negara tidak mencampuri substansi ibadah, tetapi negara menyediakan pelayanan dan pedoman bagi kelancaran pelaksanaan ibadah sepanjang dibutuhkan.

Peran pemerintah melalui Kementerian Agama adalah memfasilitasi kepastian waktu pelaksanaan ibadah yang membutuhkan keterlibatan negara sejalan dengan amanat konstitusi UUD 1945 pasal 29.

Sejauh ini terdapat beberapa perubahan regulasi tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Agama, seperti PMA No 72 Tahun 2022, PMA No 42 Tahun 2016, dan PMA No 10 Tahun 2010, PMA No 3 Tahun 2006, atau KMA No 1 Tahun 2001.

Kewenangan Menteri Agama untuk menetapkan tanggal-tanggal hari raya ataupun awal puasa melalui Sidang Isbat belakangan tidak dinormakan secara eksplisit.

Dalam hubungan ini Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, pada pasal 52 A menegaskan bahwa pengadilan agama memberikan isbat kesaksian rukyat hilal dalam penentuan awal bulan pada tahun hijriyah.

Menurut Penjelasan pasal 52 A undang-undang tersebut, “Selama ini pengadilan agama diminta oleh Menteri Agama untuk memberikan penetapan (itsbat) terhadap kesaksian orang yang telah melihat atau menyaksikan hilal bulan pada setiap memasuki bulan Ramadan dan awal bulan Syawal tahun Hijriyah dalam rangka Menteri Agama mengeluarkan penetapan secara nasional untuk penetapan 1 (satu) Ramadan dan 1 (satu) Syawal. Pengadilan agama dapat memberikan keterangan atau nasihat mengenai perbedaan penentuan arah kiblat dan penentuan waktu shalat.”

Penentuan awal bulan Qamariah yang lazim dilakukan di negara kita menggunakan kriteria wujudul hilal dan imkanur rukyat, yakni ketinggian hilal yang diakui.

Umat Islam di Indonesia memulai ibadah puasa Ramadan dan Idul Fitri mengikuti dua metode, yaitu hisab (hitungan astronomi atau peredaran bulan) atau metode rukyat (pemantauan bulan).

Kedua metode itu telah melembaga di masyarakat dan saling berdampingan. Penetapan tanggal 1 Ramadan, 1 Syawal dan 10 Zulhijjah sejatinya berada di ranah dialektika sains, bukan masalah akidah dan hukum ibadah.

“Masalah hisab rukyat di Indonesia sering menjadi persoalan nasional, khususnya di kalangan umat Islam dalam kaitan dengan masalah ibadah dan hari-hari besar Islam. Hisab rukyat tidak hanya berhubungan dengan masalah ibadah dan hari-hari besar saja, namun kajiannya lebih luas, seperti penyusunan almanak atau kalender, perkiraan akan terjadi gerhana dan sebagainya,” terang Wahyu Widiana (2003), mantan Direktur Pembinaan Peradilan Agama Kementerian Agama dan Direktur Jenderal Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung dalam sambutan buku Kalender Urfi karya K.H. Banadji Aqil.

Majelis Ulama Indonesia (MUI) melalui Keputusan Fatwa Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penetapan Awal Ramadan, Syawal dan Zulhijjah menetapkan:

Pertama, penetapan awal Ramadan, Syawal, dan Zulhijjah dilakukan berdasarkan metode rukyah dan hisab oleh Pemerintah RI c.q. Menteri Agama dan berlaku secara nasional.

Kedua, seluruh umat Islam di Indonesia wajib menaati ketetapan Pemerintah RI tentang penetapan awal Ramadan, Syawal, dan Zulhijjah.

Ketiga, dalam menetapkan awal Ramadan, Syawal, dan Zulhijjah, Menteri Agama wajib berkonsultasi dengan Majelis Ulama Indonesia, ormas-ormas Islam dan Instansi terkait.

Keempat, hasil rukyat dari daerah yang memungkinkan hilal dirukyat walaupun di luar wilayah Indonesia yang mathla’-nya sama dengan Indonesia dapat dijadikan pedoman oleh Menteri Agama RI.

Pertemuan Teknis MABIMS (Menteri-Menteri Agama Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia dan Singapura) tahun 2016 menghasilkan butir-butir kesepakatan mengenai kriteria baru tinggi bulan 3 derajat dan elongasi bulan (jarak bulan-matahari) 6,4 derajat.

Kriteria MABIMS mulai digunakan oleh Kementerian Agama dalam Sidang Isbat penetapan 1 Ramadhan 1443 H/2022 M. Sebelumnya, beberapa tahun berturut-turut, tidak terdapat potensi perbedaan perhitungan hisab dan hasil rukyat dalam penetapan 1 Ramadan dan 1 Idul Fitri di negara kita.