PBNU Sambut Gembira Perpres Miras Dicabut

PBNU Sambut Gembira Perpres Miras Dicabut
PBNU Sambut Gembira Perpres Miras Dicabut (Foto : )
Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) menyambut gembira atas pencabutan lampiran 3 Nomor 31-33 Perpres Nomor 10 tahun 2021 tentang pembukaan investasi industri minuman keras beralkohol di empat provinsi yakni Nusa Tenggara Timur, Bali, Sulawesi Utara, dan Papua. 
Ketua umum PBNU KH Said Aqil Siradj meminta hal seperti ini tidak terulang lagi. Dalam membuat aturan, Pemerintah harus memperhatikan semua kalangan jangan sampai ada pihak yang merasa dirugikan.“PBNU menyampaikan apresiasi dan terima kasih kepada pemerintah atas respon yang cepat dan tanggap terhadap masukan dari berbagai pihak dengan mempertimbangkan kemaslahatan bersama,” ungkapnya saat Konferensi Pers di Kantor Gedung PBNU Jalan Kramat Raya 164, Jakarta Pusat, Selasa (2/3/2021).KH Said menuturkan bahwa tujuan akhlak adalah jika bisa membangun kemaslahatan bersama. Akhlak bukanlah ketika ada sebagian orang yang dimaslahatkan atau mendapatkan kemaslahatan sementara sebagian yang lain ada yang dirugikan.“Jadi yang namanya akhlak itu kalau bisa membangun kemaslahatan bersama. Kalau ada sebagian orang dimaslahatkan atau mendapatkan kemaslahatan tapi sebagian yang lain dirugikan, itu namanya tidak berakhlak,” katanya, dalam keterangan tertulisnya Selasa (2/3/2021).Ia mengatakan, PBNU mendorong pemerintah untuk senantiasa melandaskan kebijakan investasi pada kemaslahatan bersama. Lebih jauh dari itu, harus berorientasi pada pembangunan yang tidak mengesampingkan sila Ketuhanan Yang Maha Esa.
Atas kegaduhan yang ditimbulkan akibat lampiran dalam Perpres Nomor 10 tahun 2021 tentang pembukaan investasi industri minuman keras beralkohol di empat provinsi yakni Nusa Tenggara Timur, Bali, Sulawesi Utara, dan Papua. KH Said mengimbau kepada umat Islam dan terutama warga NU untuk tidak terprovokasi serta dapat menjaga kondusivitas bangsa.“Meminta kepada seluruh umat Islam, khususnya warga NU agar tetap menjaga kondusivitas dan tidak terprovokasi serta melakukan hal-hal yang tidak dibenarkan secara konstitusional,” tegas Pengasuh Pesantren Luhur Al Tsaqafah Ciganjur, Jakarta Selatan ini.Ia kemudian menyampaikan bahwa larangan mengenai miras di dalam Al-Quran bersifat qath’i. Artinya, ayat tersebut sudah tidak bisa ditafsir lain dan ditoleransi pemaknaannya. Sementara ayat lain yang bersifat fiqih ijtihadiyah (kreativitas ulama) masih bisa masuk ke dalam wilayah perdebatan.Kiai Said mencontohkan ayat yang sifatnya masih bisa menjadi perdebatan yakni mengenai bunga bank. Hukum dari bunga bank sendiri, para ulama masih berdebat. Ada yang menyatakan halal, haram dan bahkan syubhat.“Bahkan ada yang bilang bunga bank ya haram. Haram sekali tidak, halal sekali tidak,” kata Kiai Said disambut tawa gemuruh para hadirin.“Walhasil, kalau masih tidak qath’i itu masih bisa dicarikan solusinya. Tapi kalau sudah qath’i itu yang tidak bisa diragukan lagi,” imbuhnya. Sekretaris Jenderal PBNU H Ahmad Helmy Faishal Zaini mengatakan bahwa penolakan terhadap industri miras sebenarnya sudah dinyatakan PBNU sejak 2013 lalu. Sebab ketika itu, di zaman Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sempat diwacanakan hal serupa.“Hari ini kita bersyukur bahwa Presiden Jokowi akhirnya mencabut lampiran terkait dengan investasi miras,” ungkapnya.Namun, Helmy mengingatkan bahwa Indonesia merupakan negara Pancasila. Hal ini menjadi sebuah pelajaran penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sekalipun Indonesia bukan negara agama tetapi merupakan negara yang masyarakatnya beragama. Bahkan memiliki asas Ketuhanan Yang  Maha Esa.“Maka seluruh praktik kebangsaan dan kenegaraan harus memiliki spirit dan nafas agama sebagai nilai dalam menjalankan kebangsaan dan kenegaraan. Ini catatan penting bagi para pemimpin,” katanya.Catatan penting itu juga diharapkan agar PBNU di bawah komando Kiai Said dapat menjaga agama atau syariat Islam. Sebagaimana yang pernah diutarakan oleh Hadhratussyekh KH Hasyim Asy’ari, lanjutnya, saat ini sudah sangat tipis makna antara halal dan haram.“Sehingga kita dalam kehidupan sehari-hari sudah tidak lagi mementingkan atau mengabaikan prinsip dalam penegakkan syariah dalam beragama,” ujar Helmy.