Tahukah Anda? … Tidak, Saya Bandeng! Saya Wingko! Saya Lunpia!

Tahukah Anda? … Tidak, Saya Bandeng! Saya Wingko! Saya Lunpia!
Tahukah Anda? … Tidak, Saya Bandeng! Saya Wingko! Saya Lunpia! (Foto : )
Bandeng! Wingko! Lunpia! Kuliner Semarangan ini menyimpan beberapa hal yang tidak boleh dilupa karena adalah kunci ada yang wajib diapresiasi. Apa saja?
Adalah
Bandeng Presto. Oleh-oleh terlaris khas Semarang. Namun tahukah Anda bahwa bandeng presto ditemukan pada tahun 1977 oleh Hanna Budimulya. Perempuan hobi masak yang berkelahiran Pati, Jawa Tengah. [caption id="attachment_335844" align="alignnone" width="900"]Tahukah Anda? … Tidak, Saya Bandeng! Wingko! Lunpia! Saat Anda berkunjung ke Kota Semarang sempatkan mengunjungi Jalan Pandanaran. Jalan ini memang dikhususkan untuk berburu kuliner khas Semarang, termasuk bandeng presto. Foto: Teguh Joko Sutrisno | ANTV[/caption] Sebenarnya sentra industri bandeng presto terdapat di Kecamatan Juwana, Kabupaten Pati, Jawa Tengah. Kelezatan bandeng asal Juwana ini bahkan berhasil mendominasi pasar bandeng presto Jawa Tengah, malahan Indonesia. Dari sini pula nama Bandeng Juwana kondang dan bahkan telah menjadi merk produksi bandeng presto yang legendaris.

Bandeng Juwana Elrina kali pertama buka pada 3 Januari 1981. Waktu itu belum ada toko, hanya etalase sederhana serta bangku dari bambu atau lincak. Pada hari pertama itu, hanya tiga ekor bandeng yang berhasil dijual.

Bandeng Juwana Elrina didirikan oleh Daniel Nugroho Setiabudhi bersama sang istri Ida Nursanty. Nama Elrina Elrina adalah singkatan dari tiga nama putri Daniel dan Ida.

Daniel adalah seorang dokter dan terakhir menjabat sebagai Kepala Rumah Sakit Kusta Semarang. Sementara Ida adalah apoteker.

Produksi bandeng presto semakin berkembang di kota Semarang, dan kini telah menjadi oleh-oleh khas dari Kota Atlas ini. Wingko, Lambang Keseriusan CintaWingko Babad juga adalah oleh-oleh khas Kota Semarang. Sejatinya nama Babad berasal dari Babat, wilayah Lamongan, Jawa Timur. Salah satu wingko babad yang sudah melegenda dan wajib dicoba adalah Wingko Babad Cap Kereta Api yang bertahan sejak tahun 1946 hingga sekarang. Wingko merk ini merupakan pionir wingko babad yang ada di Kota Semarang. [caption id="attachment_335845" align="alignnone" width="900"]Tahukah Anda? … Tidak, Saya Bandeng! Wingko! Lunpia! Wingko Babad Cap Kereta Api adalah pionir wingko di Semarang yang telah ada sejak tahun 1946. Foto: Teguh Joko Sutrisno | ANTV[/caption] Kisahnya menarik, begini … Wingko Babat pertama kali dibawa ke Semarang oleh seorang perempuan asal Babat, Lamongan, Jawa Timur bernama Loe Lan Hwa. Saat itu dia bersama suaminya, The Ek Tjong (D Mulyono) dan kedua anaknya mengungsi dari Babat ke Semarang pada 1944. Kekalahan Jepang dalam Perang Dunia II berdampak kerusuhan di Lamongan saat itu. Loe Lan Hwa atau nyonya D Mulyono kemudian mengais rejeki dengan menjajakan wingko buatannya di Stasiun Tawang yang pada waktu itu menjadi satu-satunya pusat oleh-oleh di Semarang. Semakin hari, wingko babad bikinan Loe Lan Hwa banyak memiliki penggemar hingga diberikan merk sendiri: Kereta Api.

Merk atau cap Kereta Api didapat dari gambar sampul Buku Saran yang disediakan PT Kereta Api Indonesia di kereta makan atau ruang restorasi.

Ukuran wingko babad Semarang sendiri berbeda dengan wingko babad di daerah asalnya yaitu Babat, Lamongan, Jawa Timur. Wingko babad Semarangan ukurannya lebih kecil agar bisa sekali makan. Lunpia, Ada Kisah Cinta Kuliner Semarangan juga ada Lunpia. Makanan semacam rollade yang berisi rebung, telur, daging ayam, atau udang. Lumpia hadir pertama kali pada abad ke 19 dan merupakan salah satu contoh perpaduan budaya asli Tiong Hoa – Jawa yang serasi dalam cita rasa. Makanan ini mulai dijajakan dan dikenal di Semarang ketika pesta olahraga GANEFO diselenggarakan pada masa pemerintahan Presiden Soekarno pada 1963.

Pesta olahraga GANEFO (The Games of the New Emerging Forces) adalah pesta olahraga negara-negara berkembang dan non-blok. Didirikan Presiden Sukarno pada 1962 sebagai even olahraga tandingan Olimpiade.

Ada 51 negara peserta yang turut bertanding dalam 20 cabang olahraga. Sekitar 2.700 atlet berkompetisi, ditambah ofisial dan wartawan dari berbagai negara peserta.

[caption id="attachment_335849" align="alignnone" width="1280"]Tahukah Anda? … Tidak, Saya Bandeng! Wingko! Lunpia! Namanya diambil dari Olympia Park, pasar malam di Semarang pada jaman Belanda yang populer sekitar tahun 1917. Foto: Teguh Joko Sutrisno | ANTV[/caption] Ada kisah menarik dalam lezatnya kudapan bernama Lunpia ini. Semua bermula dari saat Tjoa Thay Joe yang lahir di Fujian, Cina memutuskan untuk tinggal dan menetap di Semarang dengan membuka bisnis makanan khas Tionghoa sekitar tahun 1800. Tjao di Semarang membuka usaha dagang makanan khas Tionghoa sejenis martabak gulung bercita rasa asin. Isinya rebung dan dicampur daging babi. Dagangan ini laris manis di kalangan masyarakat urban Tionghoa maupun peranakannya. Tjoa Thay Joe kemudian bertemu dengan Wasih, perempuan asli Jawa yang bertempat tinggal di Jalan Brondongan 76 Semarang dan berjualan jajanan serupa. Hanya saja, martabak Wasi diisi dengan orak-arik yang terdiri dari daging ayam cincang, udang dan telur dengan rasa manis. Seiring bejalan waktu, mereka saling jatuh cinta dan kemudian menikah. Bahkan resep jajanan mereka juga turut “menikah”. Keduanya menciptakan resep lunpia perpaduan antara Tionghoa dan Jawa. Resep baru ini kemudian menghilangkan semua bahan makanan yang haram dalam Islam. Maka jadilah lunpia seperti yang bisa Anda temukan di Semarang saat ini.

Tahun 1930 lahirlah dinasti penerus kedua Lunpia Semarang yang dikelola oleh putri kesayangan sang pelopor yaitu Tjoa Po Nio.

Berlanjut kemudian tahun 1960 muncul generasi penerus ketiga dari putra putri pasangan dinasti kedua tersebut yang  membangun dominasi bisnis Lunpia Semarang.

Ada tiga pilar dominasi bisnis lunpia yaitu Lunpia Gang Lombok dimotori Siem Swie Kiem, Lunpia Jalan Pemuda oleh Siem Swie Hie dan Lunpia Jalan Mataram oleh Siem Hwa Nio yang tidak lain adalah ibunda sang maestro chef Tan Yok Tjay.

Siem Hwa Nio merupakan nenek Cik Me Me yang kini sedang gigih berjuang memberdayakan kearifan budaya lokal kuliner Lunpia Delight.

Sedangkan Siem Siok Lien, anak Siem Swie Hie buka di Jl. Pemuda dan Jl. Pandanaran yang dikenal dengan nama Lumpia Mba Lien.

Sedangkan cucu dari Siem Swie Wek (saudara dari Siem Swie Kiem, Siem Swie Hie, dan Swiem Hwa Nio), Shella Audrey, juga membuka usaha bernama Java Loenpia.

Mengapa dinamai Lunpia? Jajanan semacam dadar gulung ini oleh Tjoa dan Wasih biasa dipasarkan di Olympia Park, pasar malam di Semarang pada jaman Belanda sekitar tahun 1917. Dari Olympia inilah makanan rakyat ini disebut "Lumpia". Kemudian seiring waktu ada pula yang menyebutnya Lunpia, Loenpia. [caption id="attachment_335978" align="alignnone" width="1024"]Tahukah Anda? … Tidak, Saya Bandeng! Wingko! Lunpia! Silsilah dinasti Tjoa - Wasih yang mendominasi bisnis lunpia di Semarang. Foto: Lunpia Mataram[/caption] Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mengakui kata Lumpia yang berarti penganan yang dibuat dari adonan tepung dan telur yang didadar, diisi daging, rebung, dan sebagainya, lalu digulung, biasanya digoreng. KBBI tak mengakui kata Lunpia. (*)