Catatan Hari Pers Nasional: Ketika Jurnalisme Memunggungi Demokrasi

Catatan Hari Pers Nasional: Ketika Jurnalisme Memunggungi Demokrasi (Foto Istimewa)
Catatan Hari Pers Nasional: Ketika Jurnalisme Memunggungi Demokrasi (Foto Istimewa) (Foto : )
Senjakala media mainstream. Itulah barangkali cara yang paling tepat untuk menggambarkan kondisi media kita hari ini. Bukan karena diterpa oleh penetrasi revolusi digital, namun karena dia berhenti untuk menjadi relevan bagi publik.
Media mungkin boleh berganti, namun jurnalisme akan tetap ada. Media adalah bungkusnya, jurnalisme adalah isinya. Hari ini, demokrasi kita membutuhkan jurnalisme lebih dari sebelumnya.Hal ini karena demokrasi kita tengah mengalami proses regresi yang serius yang sangat rentan mengarah pada autoritarianisme. Sayangnya, banyak peristiwa menunjukkan bahwa jurnalisme kita gagal untuk menjadikan dirinya sebagai medium yang menghadirkan aspirasi dan pikiran publik.Alih-alih mendorong konsolidasi, jurnalisme kita justru memunggungi demokrasi. Indikatornya sederhana. Jurnalisme kita gagal bahkan untuk sekedar mengimplementasikan semibilan elemen paling dasar jurnalisme sebagaimana diungkap oleh Kovach dan Rosenstiel (2016).Elemen-elemen ini disarikan dari 21 diskusi kelompok terarah yang dihadiri 3000 jurnalis yang meliputi testimoni lebih dari 300 jurnalis di Amerika.Uraian berikut ini akan menguraikan kegagalan jurnalisme kita untuk mengimplementasikan elemenelemen itu.1. Elemen pertama jurnalisme adalah kebenaran.Berita yang benar adalah ibarat oksigen bagi demokrasi. Dalam konteks pemilu, misalnya, pemilih melakukan pilihan politik berdasarkan informasi yang diperolehnya tentang seorang kandidat. Jika informasi nya salah, maka publik akan mendapat gambaran keliru dari seorang calon yang dipilihnya dan menghasilkan keputusan yang juga keliru.Dalam hal ini, masih maraknya kabar bohong dan ujaran kebencian menjelang pemilu 2019 adalah satu bukti bahwa jurnalisme kita gagal untuk menjadi rujukan demi menjernihkan polusi di ruang public kita.2. Elemen kedua jurnalisme adalah loyalitas kepada public.Dalam pemberitaan yang hanya diisi oleh statement elit politik, maka suara public gagal dihadirkan dalam pemberitaan media. Salah satu contoh yang menarik baru-baru ini adalah satu studi  yang dilakukan oleh peneliti Drone Emprit.Dalam kebijakan pemindahan ibu kota, data Drone Emprit menemukan bahwa merekam perbincangan di Twitter dengan isu ‘Pemindahan Ibu Kota’ yang didokumentasikan dari tanggal 1 – 18 Januari 2020.Data ini terutama menyasar teks dan perbincangan di Twitter terkait dengan tawaran Presiden Jokowi terhadap investor di luar negeri dalam forum internasional Abu Dhabi Sustainability Week (ADSW) di Abu Dhabi, Uni Emirat Arab (UEA) Senin, 13 Januari 2020 lalu.Drone Emprit menunjukkan dari total Tweet sebanyak 15.005 yang munculada 10,336 (69%) yang memiliki pandangan negatif tentang pemindahan ibu kota, dan hanya 4275 (28%) memiliki pandangan positif atau mendukung pemindahan ibu kota serta sebanyak 394 (3%) beropini netral.Sayangnya berlawanan dengan sentiment negative netizen di dunia maya, bertaburan jejak digitial yang menunjukkan bahwa wacana yang dibawa oleh media mainstream sebagian besar masuk dalam kategori sentimen positif dan mendukung narasi pemerintah dengan menjadikan mereka sebagai news sources utamanya.3. Elemen ketiga jurnalisme adalah disiplin verifikasi.Jurnalisme memberikan metode untuk mendapatkan kebenaran. Ia bernama verifikasi. Disiplin verfikasi ini sering disampaikan dalam anecdote: “even if your mom says she loves you, you have to check it.” Sayangnya banyak media yang melanggar salah satu prinsip paling esensial dalam kerja mereka ini. Kita bisa menjadikan peristiwa pengejaran KPK terhadap politisi PDIP Harun Masiku sebagai contohnya.Semula banyak media mainstream yang meberitakan bahwa KPK tak dapat menghadirkan Harun karena dia tengah berada di luar negeri sejak 6 Januari. Penyebabnya adalah karena berita itu lemah dalam verifikasi.Mereka hanya menjadikan versi resmi pemerintah (Menteri Yasona dan komisioner KPK) sebagai sumber berita lalu memberitakannya begitu saja.Hanya Tempo yang melakukan verfikasi dan menemukan bahwa Harun memang pergi ke Singapura pada 6 Januari namun telah kembali ke Indoensia pada 7 Janauri terbukti dari rekaman data penerbangannya dan juga tangkapan CCTV.4. Elemen keempat jurnalisme adalah independensi.Independensi media ini diuji dalam setiap momen pemilu. Sering terjadi media tidak netral dalam pemilu sampai pada level mempraktikan disinformasi.Sebagaimana tampak dalam pemilu 2014, TV One secara tidak akurat mengabarkan bahwa Prabowolah pemenang pemilu dan bukan Jokowi.Pada saat itu TV One yang dimiliki oleh ketua umum golkar Aburizal Bakrie mendukung Prabowo sebagai calon presiden. Tampak jelas TV One tidak bisa menjaga jarak dengan kepentingan ekonomi politik pemiliknya sehingga berita mereka menjadi bias.Pada sisi ekstrem yang sebaliknya terjadi pada Metro TV. Pemberitaannya selama pemilu tidak dapat dipisahkan dari kepentingan ekonomi politik pemiliknya Surya Paloh yang merupakan ketua umum partai nasdem.Pada pemilu 2014, Metro TV secara eksplisit menyatakan mendukung Jokowi dengan membacakan tajuk Media Indonesia dengan judul “menyokong Jokowi”.Di kalangan ilmuwan komunikasi politik, terdapat perdebatan apakah mediaseharusnya berpihak atau netral dalam pemilu. Masing-masing memiliki argumennya sendiri.Hal ini bersumber dari tradisi liberal Amerika Serika yang memang diwarnaipernyataan dukungan media di setiap pilpres. Namun mereka bersepakata bahwa media TV yang menggunakan frekuensi public seperti Metro TV dan tvOne tidak boleh berpihak.Apalagi jika keberpihakan itu hingga mengaburkan atau bahkan memanipulasi fakta. Sayangnya, Metro TV dan TV One tidaklah sendirian dalam ketidaknetralan mereka dalam pemilu.Penelitian yang dilakukan oleh Wijayanto dan Hasfie (2019) menemukan bahwa setiap media tidak netral dalam derajad tertentu meskipun tidak seekstrim kedua TV itu.5. Elemen kelima jurnalisme adalah mengawasi kekuasaan dan menyambung lidah mereka yang tertindas.Manifestiasi dari pengawasan pada kekuasaan ini paling baik tampakd alam praktik jurnalisme investigasi. Sayangnya, praktik jurnalisme investigasi bukanlah mainstream dalam media mainstream kita. Kita bisa ambil kasus temuan berkas Panama.Menurut Tempo, ada sekitar 800 nama pebisnis dan politikus Indonesia yang masuk daftar klien Mossack Fonseca. Dan ini membutuhkan kerja raksasa.Namun, sayangnya, investigasi bukanlah minat dari media kita padaumumnya. Selanjutnya media harus menyambung lidah mereka yang lemah. Hasil kajian “Oxford Committee for Famine Relieve” (Oxfam) perihal tingkat ketimpangan ekonomi Indonesia pada tahun 2017.Satu persen warga terkaya negeri ini menguasai hampir separuh (49%) kekayaan nasional. Sayangnya, dalam studinya atas media arus utama, Janet Steel (2011) mengungkapkan bahwa di era reformasi, sudah sangat sedikitpemberitaan yang memotret kemiskinan sebagai korban dari ketidakadilan struktural.Hal ini berbeda dengan pemberitaan media pada masa sebelum Orde Baru tumbang, yang banyak membingkai kaum miskin sebagai korban pembangunan.Padahal jika mencermati data Oxfam di atas, ketimpangan struktural justru semakin meningkat di era reformasi. Untuk itu, media justru perlu lebih berperan dan mengambil inisiativ dalam upaya memerangi ketimpangan ekonomi yang ada jika ingin tetap berada di dalam hati publik.6. Elemen keenam jurnalisme adalah bahwa media harus bisa menjadi forum publik untuk menyampaikan kritisisme.Partisipasi publik melalui komentar dan tanggapan merupakan bagian yang melekat dari proses jurnalisme. Hari ini, kemajuan teknologi digital sebenarnya memungkinkan terjadinya interaksi antara pembaca/audiens dengan media.Sayangnya, hal itu masih jarang kita temui dipraktikkan.Media daring kita masih banyak berkiblat pada media cetak konvensional. Bakan lebih buruk lagi, jika media cetak masih menyediakan klom khusus bertajuk surat pembaca, hampir tidak pernah ditemui ada media daring yang melakukan hal serupa.Kemudian jika media cetak, seperti Kompas, menjadikan opini dari pembaca sebagai salah satu forum utama yang menjadi ruang yang dihormati dan disegani, media daring lebih banyak bertumpu pada berita.Kalaupun ada ruang bagi kolom untuk pembaca menulis, maka kolom itu tidak mendapat tempat yang disegani dan dicarii pembaca sebagaimana dilakukan Kompas. Kalaupun ada komen seperti Surat Pembaca bagi media daring, maka itu seringkali komentar langsung di bawah berita.Jika kita perhatikan, komentar itu seringkali dilakukan oleh akun yang tanpa nama (anonymous) yang menerang konten media dengan cara yang nir etika dan terlbih lagi nir fakta.7. Elemen ketujuh adalah bahwa jurnalisme harus memikat dan relevan.Jurnalis tak hanya membuat artikel yang memikat pembaca karena sensasional, tetapi bisa menyajikan artikel penting dan relevan dengan cara yang menarik bagi pembaca.Sayangnya pada era digital ini justru banyak berita sampah yang mencari sensasi atas nama mencari
clickbait atau mengejar rating.Salah satu berita sensasional yang mencari klikbait itu misalnya berita tentang mertua yang melaporkan menantunya terkait ukuran alat kelamin menantunya. Berita itu dimuat oleh Kompas.com pada 27 Maret 2019 berjudul: "Alat Vital Dianggap Terlalu Besar, Mertua Laporkan Menantu ke Polisi".Berita itu juga diturunkan oleh Detik.com pada tanggal yang sama dengan judul: “Mertua Cabut Laporan Usai Lihat Alat Kelamin Menantu yang 'Terlalu Besar'”.Masih pada hari yang sama Surya mengangkat berita serupa dengan judul: “Sito Cabut Laporan Polisi Setelah Puas Lihat Alat Kelamin Menantunya, Ternyata Ukurannya . . .”Selain 3 media itu, ada setidaknya 21 media lain yang juga ikut memberitakan dengan judul yang mirip da nisi berita yang sama antara lain : aceh.tribunnews.com (28/3), pojoksatu.id (28/3), pantura7.com (27/3), liputan6.com (28/3), okezone.com (5/4), pelitabatak.com (28/3), regional.kompas.com (27/3), kaskus.co.id (27/3), manaberita.com (27/3), suarakarya.id (28/3), keepo.me (28/3), kabarsinjai.com (29/3), indozone.id (28/3), bugispos.com (27/3), sultrakini.com (28/3), exposeindonesia.com (27/3), jawarapos.com (27/3), suratkabar.id (27/3), prosumut.com (27/3), koreksi.id (27/3), seputarpangandaran.com (27/3) dan dream.co.id.Meskipun disajikan dengan berbagai judul, berita itu berkisah tentangseorang mertua yang mengguga hukum menantunya karena anak perempuannya meninggal setelah sang menantu dan anaknya menikah dan melalui malam pertama.Sang mertua berkeyakinan bahwa sang anak meninggal karena ukuran alat kelamin menantunya terlalu besar yang bisa menyebabkan kematian anaknya setelah mereka berhubungan suami istri.Berita ini tidaklah mengandung kebohongan karena yang diangkat adalah fakta persidangan. Nampun pertanyaannya, apa arti penting berita ini bagipublik selain hanya membagikan sensasi? Ini adalah berita tentang kasus hukum yang menyangkut perseorangan dan bukan tokoh publik yang dipilih dalam prosedur demokrasi.Berita ini dengan berbagai variannya hanyalah mengejar click