Catatan Hari Pers Nasional: Ketika Jurnalisme Memunggungi Demokrasi

Catatan Hari Pers Nasional: Ketika Jurnalisme Memunggungi Demokrasi (Foto Istimewa)
Catatan Hari Pers Nasional: Ketika Jurnalisme Memunggungi Demokrasi (Foto Istimewa) (Foto : )
dan rating alih-alih mengusung nilai-nilai jurnalistik.8. Elemen kedelepan adalah bahwa berita harus proporsional dan komprehensif.Pemilihan berita sangat subjektif. Justru karena subjektif wartawan harus ingat agar proporsional dalam menyajikan berita. Ibarat sebuah peta, ada detail suatu blok, tapi juga gambaran lengkap sebuah kota.Di Indonesia terjadi apa yang oleh para pengamat media sebagai
Java centrism
yang berpusat pada Jakarta yang melanggar prinsip ini. Sebagaimana dilaporkan oleh riset Center for Innovation, Policy and Governance pada tahun 2013, sebagian konten media kita didominasi oleh Jawa baik sebagai tempat maupun sebagai satu entitas kultural yaitu sebesar 69%. Lebih jauh, dari 49% dari 69% itu merupakan konten yang mengangkat isu yang berlangsung di Jakarta.Maka tidak mengherankan jika semua keresahan yang terjadi di Jakarta berubah menjadi keresahan nasional. Banjir yang berlangsung di Jakartaharus dilihat sebagai bencana nasional. Tensi politik yang tinggi yang mengiringi pemilihan gubernur Jakarta berdampak pada menaiknya suhu politik secara nasional.Mati lampu yang berlangsung “hanya” beberapa jam di Jakarta langsung menjadi headline di koran-koran nasional dan menjadi topik talk show yang serius di berbagai stasiun TV.Krisis representasi konten media yang hanya berisi tentang Jakarta (Jakarta-centris) ini tentu saja bertolak belakag dengan prinsip demokrasi yang mengandaikan perlunya representasi warga Negara dari Sabang sampau Merauke.9. Prinsip kesembilan jurnalisme adalah mendengarkan panggilan hati nurani.Setiap jurnalis harus memiliki semaacam kesadaran akan etika dan tanggung jawab diri sebagai semacam kompas moral. Mereka memiliki tanggungjawab untuk menyuarakan sekeras-kerasnya panggilan hati nurani mereka dan memberikan peluang selebar-lebarnya bagi pihak lain untuk melakukan hal yang sama.Salah satu manisfestasi dari hal ini adalah kemampuan seorang jurnalis untuk mendengarkan amanat hati nurani rakyat. Sayangnya kemampuan ini mulai menjadi barang langka dalam jurnalisme kita.Kasus pelemahan KPK melalui propaganda media social yang kemudian justru diamplifikasi oleh media mainstream bisa menjadi contoh di sini.Dalam berbagai survei, KPK merupakan salah satu lembaga yang ada di hati public. Terbukti, ia merupakan lembaga yang paling diperaya oleh publik secara luas.Survei yang dilakukan oleh ISEAS pada tahun 2017, misalnya, menyatakan bahwa KPK dipercaya oleh 83,1% publik Indonesia. Selanjutnya pada tahun 2018, survei LSI-ICW mengungkapkan bahwa 85% publik mempercayai KPK. Namun, legitimasi KPK ini kemudian dilemahkan melalui satu serangan propaganda komputasi oleh akun buzzer.Namun, media mainstream jsutru menyebarkan propaganda para buzzer untuk melemahkan KPK. Sebagaimana ditemukan oleh Drone Emprit, selama satu minggu menjelang disahkannya revisi UU KPK oleh DPR pada 17 September 2019, terjadi tsunami pembicaraan di media sosial sebanyak lebih dari setengah juta kali yang membahas KPK, pembicaraan itu terjadi di Twitter (539 ribu kali).Tagar yang jadi vrial adalah narasi-narasi yang menudkung revisi UU yang akan melemahkan KPK berupa: #KPKdanTaliban, #KPKpatuhAturan, #KPKCengeng, #DukungRevisiUUKPK dan sebagainya.Yang mau disampaikan dari tagar itu adalah bahwa UU KPK memang perludirevisi. Perlunya UU KPK direvisi ini karena berbagai alasan, antara lain, adalah karena KPK merupakan sarang Taliban.Menurut catatan Drone Emprit, apa yang menjadi trending topic di Twitter ini kemudian diamplifikasi oleh media arus utama media daring (62.300 kali).Pemberitaan ini justru membantu buzzer untuk semakin menyebarluaskanpropaganda bahwa KPK adalah Taliban atau sarang radikalsime. Penyebarluasan itu tentu saja tidak mesti dengan memembnarkan isu propaganda itu sendiri.Penyebaran itu bahkan bisa dilakukan dengan mengangkat berita yang seakan-akan mengklarifikasi propaganda media sosial. Karena terlepas dari isi pemberitaannya membenarkan atau menolak, dengan memberitakan ini secara masiv maka artinya membiarkan isu KPK adalah taliban untuk masuk ke dalam kesadaran public.Di sini teori agenda setting berlaku yaitu bahwa media masa selalu berhasil untuk menggiring kita untuk mengarahkan perhatian kepada topic tertentu sesuai dengan agenda media terlepas dari kita setuju atau tidak.Berikutnya teori propaganda mengungkapkan bahwa kebohongan yang diulang-ulang maka akan terasa seperti kebenaram.Pesan apa yang dapat kita lihat manakala 9 elemen jurnalisme gagal dipenuhi seperti uraian di atas?Yang terjadi kemudian adalah defisit demokrasi sebagai res-publica di mana publik dan segenap apirasinya seharusnya mendapat tempat utama.Media dan jurnalisme kita justru menjadi corong dari elit yang juga memunggungi nilai-nilai demokrasi, dipenuhi bias dan sensasi, urung menegakkan indepensi dan menjalankan disiplin verfikasi.Harus disadari  bahwa ketika demokrasi runtuh dan berubah menjadi otoriterisme, salah satu korban pertamanya adalah kebebasan media!Dalam keadaan ini, media harus melakukan istrospeksi dengan sangat serius dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.Semakin ditinggalkannya media mainstream oleh publik, seharunya menjadi peringatan sangat kuat bahwa mereka harus berubah, atau justru musnah!Selamat Hari Pers Nasional! Penulis: Wijayanto, Ph.D (Direktur Center for Media and Democracy, LP3ES, Dosen Universitas Diponegoro)