Cerita Diaspora Indonesia Saat Cari Pasangan Seiman di Australia

-
- (Foto : )
Agama menjadi faktor utama dalam mencari pasangan hidup. Begini cerita diaspora Indonesia bagaimana sulitnya mencari pasangan seiman di Australia.
Berdasarkan sebuah sensus di Australia pada 2016, Jumlah orang yang mengaku tidak beragama di negeri kanguru mengalami peningkatan. Hal ini menimbulkan kesulitan bagi warga Australia yang mengaku beragama dan berharap untuk menemukan pasangan yang seiman dengan mereka. Bagi Desta Puspa Pertiwi dan Victor Alfonso, diaspora Indonesia di Melbourne, Australia, agama masih menjadi faktor penting dalam mencari pasangan hidup. Di usia siap menikah, keduanya masih berstatus lajang meski sudah beberapa kali menjalin hubungan dengan orang beragama sama. "Menurut saya pribadi agama itu penting karena hidup kita tidak hanya mencari dunia tapi juga mencari surga." kata Desta, mahasiswi berusia 26 tahun yang beragama Islam. [caption id="attachment_251185" align="alignnone" width="715"]
Desta Puspa Pertiwi (Foto: Istimewa/ABC Indonesia)[/caption] Desta mengaku, dirinya memiliki tipe kepribadian ekstrover, senang berada di antara banyak orang. Dalam bergaul, Desta mengatakan bahwa dirinya tidak pilih-pilih teman. "Dalam berteman, menjalin relasi dengan orang saya tidak melihat darimana dia berasal, dalam arti saya berteman dengan siapa saja. Maksudnya mau Muslim, Kristen, Hindu, Buddha, LGBT, lain kebangsaan, saya berteman dengan siapa saja."

Punya Rem

Namun, Desta memiliki kriteria tersendiri kalau sudah bicara soal pasangan hidup. "Tapi kalau tentang hubungan percintaan atau pasangan, saya punya rem tersendiri. Salah satunya adalah (calon pasangan saya harus) orang yang berbagi kepercayaan dengan saya, (yaitu) sama-sama Muslim," katanya. Desta berharap untuk dapat memiliki pasangan yang tidak hanya beragama Islam di KTP saja, tapi juga menjalankan syariat-syariat Islam. "Ya, saya tidak terlalu agamis sebenarnya orangnya, walaupun menggunakan hijab sebagai simbol, ya. Tapi saya juga mau punya pasangan yang paling sederhananya salat lima waktu." Di antara keempat teman masa kecilnya, Desta menjadi satu-satunya yang belum berpasangan dan menikah. "Saya punya teman SMA. Kita berlima dan hanya saya yang belum menikah dan juga satu-satunya yang merantau sampai sejauh ini," katanya tentang teman-temannya yang tinggal di provinsi Lampung, Indonesia. "Saya sempat merasa 'Aduh, saya belum punya pasangan, teman-teman saya sudah punya anak atau bayi, dan keluarga baru.' Ada perasaan begitu." Awalnya, Desta mengakui adanya perasaan insecure yang mengikutinya setiap kali memikirkan tentang pasangan hidup. Namun, ia menyadari satu hal. "Ada sekali perasaan insecure, tapi kemudian saya berpikir, 'Oh, ini bukan waktunya banget untuk memikirkan pasangan. Ya sudah deh, mungkin teman-teman saya yang rezekinya punya anak, dan segala macam.'" Desta yang sudah tiga kali berpacaran sejak bangku SMA mengatakan telah belajar banyak dari waktunya sebagai seorang berstatus lajang. "Mungkin Tuhan mau agar saya belajar dari teman-teman atau keluarga-keluarga muda yang saya temukan di sekitar saya. Karena saya jadi tahu bagaimana mengurus anak, mengobrol bersama suami nanti, juga hal-hal yang harus dikompromikan," kata Desta yang saat ini sedang melanjutkan pendidikan S2 di Monash University di Melbourne.

Kriteria Tidak Ketat

Di luar kriteria agama, Desta Pertiwi juga memiliki hal lain yang menurutnya penting untuk dimiliki pasangannya, yaitu untuk tidak minum alkohol. "Jadi memang dari dulu, dari zaman saya masih S1, bahkan sampai sekarang S2 saya sempat dekat dengan beberapa orang yang bisa dibilang prospektif untuk jadi pasangan hidup," kata dia. "Tapi waktu sudah dekat dan jalan bareng, ternyata, mohon maaf, dia minum. Kalau buat sekadar teman, entah dia mau minum, atau ibaratnya ke diskotik, bukan urusan saya. Tapi kalau hanya sebagai teman," tegas Desta Desta menambahkan, kriteria yang ia tetapkan untuk calon pasangannya tidak terlalu ketat. "Kalau tidak mau diinjak-injak, Anda harus punya prinsip atau pandangan karena itu yang membuat [Anda] kokoh dan jadi pohon, bukan ilalang yang kena angin," katanya.

Tidak Terpengaruh

Hal serupa juga dirasakan Viktor Alfonso, diaspora Indonesia yang tinggal di Melbourne.  Di usianya yang ke-38, Victor dikelilingi oleh teman-teman seumurannya yang sudah berkeluarga. Namun, sebagai pria jomblo, ia mengatakan tidak terpengaruh dengan tekanan yang menurutnya memang tidak terhindarkan tersebut. "Kehidupan berumah tangga bukan tujuan akhir dari kehidupan. Melihat teman-teman yang sudah menikah tapi tidak punya kehidupan keluarga yang baik, saya berpikir lebih baik sekarang masih sendiri daripada punya pasangan tapi begitu" kata Viktor kepada Natasya Salim dari ABC Indonesia. Viktor yang saat ini bekerja di sebuah restoran di Melbourne mengatakan, ia juga ingin memiliki pasangan yang seagamanya dengannya, yaitu agama Kristen. [caption id="attachment_251184" align="alignnone" width="710"] Viktor Alfonso  (Foto: Istimewa/ABC Indonesia)[/caption] Meski agama menjadi faktor penting dalam memilih pasangan, laki-laki asal Manado ini mengatakan bahwa faktor itu bukanlah segalanya. "Agama itu bukan satu-satunya syarat, tapi salah satu. Walaupun mungkin itu yang utama." Victor sudah pernah menjalin dua hubungan serius dengan perempuan seiman namun tidak berakhir ke pernikahan. Ini karena ia masih menemukan sebuah kriteria yang tidak dapat dipenuhi oleh kedua mantannya tersebut. "Sensitivitas mantan saya kurang ke keluarga saya. Menurut saya keluarga itu penting. (Pasangan saya) harus peduli bukan sama saya saja tapi juga kepada keluarga saya," kata Viktor Sumber: ABC Indonesia