Forum Korban Mafia Tanah Indonesia (FKMTI) mengapresiasi penangkapan kawanan mafia tanah yang melibatkan aparat desa hingga camat di Tarumajaya, Bekasi. Sebelas mafia tanah tersebut terlibat dalam pemalsuan surat-surat berkaitan dengan kepemilikan tanah. FKMTI juga mendorong polisi agar berani menangkap para penadah yang membeli tanah dari kawanan mafia tanah.
[caption id="attachment_140860" align="alignnone" width="900"]
sebelas mafia tanah di Tarumajaya bekasi ditangkap polis[/caption]
Pernyataan tersebut disampaikan Sekretaris FKMTI Agus Muldya saat bertemu dengan Engkong Sukra (89) warga Tarumajaya, Bekasi yang mengaku tanahnya dikuasai pengembang tanpa proses jual beli.
Agus menjelaskan, Engkong Sukra tak pernah menjual tanahnya seluas 2,744 ha di Pantai Makmur, Taruma Jaya, Bekasi. Hingga kini Engkong Sukra masih memiliki girik tanah tersebut. Bahkan, hingga tahun 2017 lalu masih membayar PBB atas tanahnya.
Engkong Sukra kaget bukan kepalang karena tanahnya telah diurug dan jadi kawasan pergudangan Marunda Center beberapa tahun lalu. Engkong dan keluarganya sudah beberpa kali bertemu dengan Diressi Marunda center. Namun pihak Marunda center hanya mau memberi uang kerohiman. Engkong pun menolaknya."Tanah milik saya, saya bukan numpang tanah negara. Kok ngasih kerohiman. Saya berani sumpah, enggak pernah jual tanah yang 2,7 hektar. Kalau sudah saya jual , Saya bilang Udah" ungkap Sukra, Kamis (6-1-2018) di Jakarta.
Engkong Sukra juga mengungkapkan, tanahnya seluas 7000 m2 di lokasi yang berbeda di kawasan Marunda Center pernah dibayar pihak perusahaan beberapa tahun silam . Namun engkong Sukra hanya menerima 300 juta rupiah dari aparat desa . Padahal janji dibayar 1,5 miliar rupiah. “300 juta juga masih dipotong sana-sini”ungkapnya.
Agus Muldya menambahkan jika ada perusahaan swasta menguasai tanah rakyat dan hanya bersedia memberikan uang kerohiman sangat mirip Kompeni Belanda Saat penjajahan.”Kalau tanah milik rakyat dibayar uang kerohiman itu namanya gaya kumpeni. Negara harus membantu penyelesaian dengan membentuk Komisi Pemberantasan Mafia Tanah yg punya kewenangan eksekusi” ujar Agus.
Sebelumnya, Polda Metro Jaya merilis penangkapan sebelas mafia tanah yang melibatkan aparat desa hingga camat di Tarumajaya, Bekasi. Menurut Agus, Engkong Sukra tidak tahu, apakah kawanan mafia tanah yang baru ditangkap tersebut yang menjual tanahnya. Namun Agus menegaskan, para pemilik tanah asal yang suratnya digelapkan mafia tanah, secara hukum seharusnya kembali menjadi milik yang bersangkutan.
Menurut Agus, Engkong Sukra hanya meminta polisi membantunya agar tanah miliknya yang dikuasai Marunda Center segera dikembalikan kepadanya.
Agus Menjelaskan Sukra Bin Meran yang beralamat di Kp. Kebon Kelapa R.T. 002/R.W. 005 Desa/Kelurahan Segarajaya Kecamatan Tarumajaya Kabupaten Bekasi merupakan pemilik tanah atas dasar Girik C 227/127 Persil 44 DII seluas 2.744 Ha atas nama saya Sukra Bin Meran.
Agus Muldya yang pernah ditugaskan membebaskan Sandera di Filipina ini mengungkapkan, Engkong Sukra telah bertemu Kepala ATR/BPN Kabupaten Bekasi Deni Santo pada 4 Juli 2018 lalu. Kakantah Bekasi didampingi Kepala Seksi Pengukuran, Kepala Seksi Persengketaan, Kepala Seksi Hukum dan Kepala Seksi Infrastruktur.
Sementara, Sukra didampingi oleh Tjahyo Widyanto Mantan Direktur Pengukuran ATR/BPN yang sekarang bertugas di Kantor Staf Kepresiden (KSP). Hasil pertemuan ditemukan sejumlah fakta tnah atas dasar Girik C 227/127 Persil 44 DII seluas 2.744 Ha atas nama Sukra Bin Meran tidak pernah diperjualbelikan atau dihibahkan .
Hal itu dibuktikan masih adanya bukti Girik, surat letter C yang dikeluarkan Kelurahan serta bukti-bukti pembayaran PBB hingga tahun 2017. Selain itu juga ada surat keterangan dari Kepala Kelurahan yang menyatakan bahwa tanah tersebut adalah benar milik Sukra Bin Meran yang tercatat dalam rincikan desa.
Berdasarkan buku rincikan Desa Segara Makmur,Kecamatan Tarumajaya Kewedanan Kabupaten Bekasi pada tanggal 15 Desember 1980 yang telah diukur dan digambar oleh Moh Djen. Kepala Desa Segaramakmur H Sadiyan, Ketua Kampung II Nalih dan Rohim Kantil, menulis dalam buku rincikan Persil / Blok Bugel No. 44/Dlll tidak tercantum Nomor Carakan 53 dengan luas 27.468M atas nama Emuh yang menjadi alas dasar terbitnya SHGB 51.
Dalam pertemuan tersebut juga terungkap, Girik C 227/127 terbukti tidak termasuk dalam SHGB51 karena persil dan letter C-nya berbeda. Setelah diteliti oleh BPN dalam buka warkah yang dibacakan oleh Kasi Persengketaan Bapak Didin, SHGB 51 hanya mencakup :–Tanah milik Sri Sulianti seluas 19.500 m2,Tanah milik Firmansyah seluas 21.660 m2 dan Tanah milik Euh seluas 20.915 m2. Namun P.T Multi Karya Hasil Prima menguasai secara sepihak tanah milik Sukra Bin Meran yang jelas-jelas pemiliknya berbeda dengan pemilik dalam SHGB 51.
Berdasarkan fakta-fakta tersebut, Sukra juga telah berkirim surat kepada Presiden Jokowi, Menkopolhukam, Kepala Kantor Wilayah BPN Jawa Barat agar memberikan perlindungan Hukum dan bantuan kepadanya . Engkong Sukra juga meminta BPN membatalkan SHGB 51 tersebut karena terbukti cacat administrasi. Sebab, SHGB 51 terbit berada di atas tanahnya yang belum pernah dijual dan dipindahtangankan.
Baca Juga :