Yuk Simak! Ini Waktu Membayar Utang Puasa Sebelum Ramadan

Ilustrasi berdoa
Ilustrasi berdoa (Foto : Pixabay)

Antv – Meski ibadah puasa Ramadan bersifat wajib, namun salah satu keistimewaannya yakni dapat ditinggalkan bagi kaum muslimin dalam keadaan tertentu.

Namun, orang tersebut harus membayar puasa yang ditinggalkannya di hari-hari lain usai Ramadan

Membayar utang puasa Ramadan wajib dikerjakan sesuai dengan jumlah puasa yang ditinggal. Puasa ini pun kerap disebut dengan istilah puasa qadha.  

Puasa qadha sendiri bisa dilakukan usai selesai bulan puasa atau Ramadan. Tapi, waktu membayar utang puasa Ramadan ini memiliki ketentuan tersendiri.

Di sisi lain, ada 3 tipe orang yang berpotensi memiliki hutang puasa, yakni orang sakit (marid), orang yang bepergian (musafir), dan orang yang tidak mampu atau berat menjalankan puasa. 

Untuk mengetahui hal tersebut, yuk simak beberapa pembahasannya di bawah ini yang telah dikutip dari Tvonenews Kamis, 23 Februari 2023. 

Aturan Qadha Puasa 

img_title
Ilustrasi Salat. (Foto: Pixabay/ ashiqraazz)

Barangsiapa tidak berpuasa di bulan Ramadan karena sakit atau bersafar atau menjadi musafir, maka ia wajib mengqadha’ sesuai jumlah hari yang ia tidak berpuasa.  

Allah SWT berfirman,

 وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ ۗ 

Artinya: “Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.” (QS. Al-Baqarah: 185). 

Aturan Qadha Puasa

img_title
Ilustrasi doa. (Foto: Pixabay)

1. Qadha sebaiknya dilakukan segera

أُولَئِكَ يُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ وَهُمْ لَهَا سَابِقُونَ 

Artinya: “Mereka itu bersegera untuk mendapat kebaikan-kebaikan dan merekalah orang-orang yang segera memperolehnya.” (QS. Al-Mu’minun: 61) 

2. Qadha puasa tak boleh dibatalkan kecuali jika ada uzur yang dibolehkan sebagaimana halnya puasa Ramadhan. 

3. Tidak wajib membayar qadha puasa secara berturut-turut, boleh saja secara terpisah. Karena dalam ayat diperintahkan dengan perintah umum,

أَيَّامًا مَعْدُودَاتٍ ۚ فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ ۚ وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ ۖ فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ ۚ وَأَنْ تَصُومُوا خَيْرٌ لَكُمْ ۖ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ  

Artinya: Yaitu dalam beberapa hari yang tertentu, maka wajiblah baginya berpuasa, sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.” (QS. Al Baqarah: 185).  Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma mengatakan, 

“Tidak mengapa jika (dalam mengqadha’ puasa) tidak berurutan.” (Dikeluarkan oleh Bukhari secara mu’allaq –tanpa sanad- dan juga dikeluarkan oleh Abdur Rozaq dalam Mushonnafnya, 4:241,243, dengan sanad yang sahih). 

4. Qadha puasa tetap wajib berniat di malam hari sebelum subuh sebagaimana kewajiban dalam puasa Ramadan. Puasa qadha harus ada niat di malam hari sebelum subuh, berbeda dengan puasa sunnah yang boleh berniat di pagi hari. 

مَنْ لَمْ يُبَيِّتْ الصِّيَامَ قَبْلَ الْفَجْرِ فَلَا صِيَامَ لَهُ 

Artinya: “Barangsiapa yang tidak berniat di malam hari sebelum fajar, maka tidak ada puasa untuknya.” HR. Abu Daud, no. 2454; Tirmidzi, no. 730; An-Nasai, no. 2333; dan Ibnu Majah no. 1700.  

Para ulama berselisih apakah hadits ini marfu sampai pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ataukah mauquf hanya sampai pada sahabat.  

Lalu, yang menyatakan hadits ini marfu ialah Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, Al-Baihaqi, An-Nawawi. Sedangkan yang menyatakan hadits ini mauqufadalah Al-Imam Al-Bukhari dan itu yang lebih sahih. Lihat Al-Minhah Al-‘Allam fii Syarh Al-Bulugh Al-Maram, 5:18-20. 

5. Saat ada melakukan qadha puasa lalu ia berhubungan intim di siang hari, maka tak ada kewajiban kafarah, yang ada hanya qadha disertai dengan taubat.  

Jika Kafarah berat, maka harus memerdekakan seorang budak, jika tidak mampu berarti berpuasa dua bulan berturut-turut, jika tak mampu juga berarti memberi makan pada 60 orang miskin dan hanya berlaku untuk puasa Ramadan saja.