Catatan Sepakbola Bag. II: Selamat HUT PSSI ke-94, Dari Ikada, Salatiga, Garuda, Primavera Hingga...

Catatan Sepakbola Bagian II: Selamat ulang tahun PSSI ke-94, Dari Ikada, Salatiga, Garuda, Primavera Hingga...
Catatan Sepakbola Bagian II: Selamat ulang tahun PSSI ke-94, Dari Ikada, Salatiga, Garuda, Primavera Hingga... (Foto : M. Nigara Wartawan Sepakbola Senior - Dok. Istimewa)

Oleh:
M. Nigara
Wartawan Sepakbola Senior

Antv – PELATNAS IKADA, Pardedetek, Diklat Salatiga, Warna Agung, PSSI Binatama, Garuda, Primavera, Garuda Select, dan banyak model lainnya untuk mencapai prestasi sepakbola kita. Selain federasi, ada swasta yang 'gila bola' ikut membiayainya.

Sejak 1950an hingga era 2000an saat ini, tak terhitung model pembinaan dibentuk dan dibubarkan sebelum mencapai apa yang dicita-citakan. Pembubaran mulai karena desakan 'politik' hingga PSSI tak tahan dari 'gempuran kritik'. Akibatnya, prestasi tim nasional kita, ya baru sampai seperti sebelum saat ini.

Meski demikian, rasa hormat saya tetap tak berkurang sedikit pun untuk para manatan Ketua Umum PSSI, dan untuk para Swasta yang sudah berjibaku untuk sepakbola kita.

Catatan: D. Murthala (persiraja, Banda Aceh), TD. Pardede (Pardedetex, Medan), Benny Mulyono (Warna Agung, Jakarta), Sigit Harjojudanto, Ismet D. Tahir (Arseto, PSSI Garuda, Solo), Nirwan D. Bakrie (Pelita Jaya, Primavera, Barretti, Persija, Jakarta), Alex Wenas (Niac Mitra, Surabaya), adalah kumpulan pengusaha. Mereka rela merogoh kantongnya dalam-dalam demi sepskbola nasional. Jika dinominalkan, uang yang mereka gelontorkan bisa mencapai triliunan rupiah.

Begitu pula untuk mereka, para mantan pemain dan pelatih nasional dari mana pun mereka. Bahkan untuk para mantan wartawan sepakbola yang secara bersama-sama tenggelam dalam relung sepakbola nasional. Para jurnalis yang meski sangat dekat, tetapi tetap tak bosan mengkritisi untuk kemajuan sepakbola itu sendiri, hormat saya sangat tinggi.

Saya masih ingat bagaimana perjuangan Iswadi Idris, Risdianto, Sutan Harhara, dan kawan-kawan. Saya ikut berdiri dari tribun atas Stadion Utama Senayan bersama 120 ribu penonton untuk memberi hormat pada mereka, meski gagal ke Olimpiade Monterial 1976, setelah kalah 4-5 melawan Korut. Bangga kami dengan tim asuhan Wiel Coerver itu terus bergelayut hingga hari ini.

Begitu juga, saya, sahabat saya Yesayas Oktovianus (Kompas), Riang Panjaitan (Sinar Pagi), Binsar Sinaga (Analisa), John Halmahera (Suara Pembaruan), Oom Sambas (TVRI) yang meliput secara langsung, ke Bangkok, Dakka, dan Kalkuta. Kami ikut merasakan perjuangan timnas yang diasuh Sinyo Aliandu menjadi juara Sub Grup III B Pra Piala Dunia 1986.

Kebanggaan saya dan pasti juga ke-5 sahabat dan senior saya itu, sungguh tak terkira hingga hari ini. Kisah Herry Kiswanto, Bambang Nurdiansyah, Ferrel Hattu dkk yang meraih kesuksesan itu, seperti baru kemarin.

Mereka meraihnya justru dalam laga away di Thailand, Bangladesh, dan India. Kecuali Bangladesh, Thailand dan India adalah negeri yang timnasnya sangat sulit kita tangklukan.

Hormat dan Bangga

Jadi, meski saat ini saya termasuk yang mensyukuri dengan model naturalisasi, bukan karena saya, sahabat Yes, Reva Deddy Utama (antv), dan Erwiantoro (Cocomeo), menjadi tim penjajakan naturalisasi, Januari-Februai 2009, tapi saya pribadi melihat model ini ternyata sangat baik. Model ini dapat mempercepat cita-cita Ir. Soeratin 94 tahun silam, bisa segera diraih. Dan model ini juga sudah dilakukan oleh Argentina, Jerman, Italia, Perancis, Inggris, Spanyol, dan Belanda.

Meski demikian, rasa hormat dan bangga saya pada mereka para pendahulu, tak berkurang sedikit pun. Sejak 1981, ketika pertama kali Bang Valens Doy, redaktur olahraga Kompas, senior, guru, dan kakak saya menugaskan untuk meliput sepakbola nasional, saya langsung melebur di PSSI.

Hampir setiap timnas, klub-klub Galatama, serta Perserikatan, saya selalu ada bersama mereka. Saya seolah menjadi bagian yang tak terpisahkan. Hubungan saya dengan pelatih, asisten pelatih, pemain dan ofial, amat lekat. Bukan lagi sekedar hubungan wartawan dengan nara sumber.

Maka, jika rasa cinta saya begitu luar biasa pada PSSI dan sepakbola nasional, adalah fakta yang tak bisa saya hindarkan. Saya bersyukur mengawali karir jurnalistik di sana. Ya, 31 tahun sejak 1981 hingga 2012, membuat saya sering tak mampu memisahkan diri apakah sebagai jurnalis atau bagian dari sepakbola nasional itu sendiri. Maklum, bersama teman-teman UI, UKI, Trisakti, STTN, IKIP Jakarta, AMI/ASMI, saya mewakili STP (Sekolah Tinggi Publisistik/ IISIP) tahun 1982 ikut mendirikan Liga Sepakbola Mahasiswa di Jakarta.

On the track

Dari pengalaman itu, saya melihat bahwa langkah lanjutan pengurus PSSI melakukan program model naturalisasi, in syaa Allah sudah on the track (sudah berada di jalan yang benar.

Meski demikian, bukan berarti kesuksesan sudah otomatis tercapai, tapi, paling tidak jalan untuk menggapai kesuksesan sudah benar. Tentu liku, gelombang, dan hambatan masih ada, namun dengan kualitas pemain naturalisasi dari Eropa (Belanda dan negara lain) harapan itu terbuka lebar.

Sekali lagi, tidak bermaksud metendahkan pemain lokal, kita sudah berulang kali mencoba dan selalu gagal. Bahwa tetap ada suara miring, bahkan nyinyir ke arah personal, itulah indahnya sepakbola.

Terus saja berjuang dan berusaha, karena kesuksesan tidak terletak pada pendapat orang, tapi lebih dari seberapa kuat kita berusaha. Kesuksesan tidak akan datang begitu saja, tapi kesuksesan itu wajib digapai dengan kerja keras dan doa.

Selamat ulang tahun ke-94 PSSI KITA...!