Oknum Polisi di Lampung Tengah yang Injak Kepala Petani Diperiksa Propam Polda Lampung

Oknum Polisi di Lampung Tengah yang Injak Kepala Petani
Oknum Polisi di Lampung Tengah yang Injak Kepala Petani (Foto : antvklik-Pujiansyah)

Antv – Pasca peristiwa dugaan kekerasan yang dilakukan Bripka ZK, Bidang Profesi dan Pengamanan (Bid Propam) Polda Lampung memeriksa oknum polisi tersebut. Hasilnya, Bripka Z mengakui kesalahan yang dilakukannya.

Kabid Propam Kombes Firman Andreanto mengatakan pihaknya sudah mengamankan dan melakukan pemeriksaan terhadap oknum anggota yang melakukan tindakan diluar SOP. Oknum berinisial Brigadir Kepala (Bripka) ZK itu terekam melakukan perbuatan diluar perintah saat pengamanan eksekusi lahan PT BSA.

"Kita sudah memeriksa dan yang bersangkutan juga mengakui kesalahannya. Bripka ZK mengaku tindakannya itu berdasarkan reflek," kata Andre.

Andre mengatakan pihaknya melakukan gerak cepat untuk merespon keresahan masyarakat dengan mengamankan oknum tersebut dan meneliti kesalahan pelanggaran prosedur yang dilakukannya.

Menurutnya dari hasil penyelidikan, Bripka ZK telah melanggar 10 ayat 1a dan b perpol no 1 tahun 2022  tentang pengawasan operasi pembinaan dan pengaduan masyarakat.

"Sanksi akan dijatuhkan setelah sidang kode etik dilakukan dalam waktu dekat," tandas Kombes Andre.

Diketahui, kericuhan terjadi di lahan yang disengketakan warga tiga desa di Kecamatan Anak Tuha, Kabupaten Lampung Tengah, Kamis (21/9/2023).

Puluhan orang yang menduduki lahan ini sejak beberapa hari lalu akhirnya dibubarkan polisi.

Sebanyak 7 orang yang melakukan perlawanan diamankan karena diduga membawa senjata tajam  saat proses pengosongan lahan.

Aksi warga yang ditangkap itu buntut dari sengketa lahan warga tiga desa yakni Desa Bumiaji, Negara Aji Tua dan Negara Aji Baru dengan perusahaan perkebunan sawit PT Bumi Santosa Abadi atau PT BSA.  

Lahan yang dipersengketakan awalnya dikelola oleh PT BSA sebagai perkebunan sawit. Namun  pada 2013 lalu, sebagian lahan diambil alih warga karena perkebunan sawit itu terbengkalai.

Warga mengklaim lahan seluas 900 hektar yang dikelola perusahaan merupakan tanah ulayat adat mereka. Sementara pihak perusahaan mengelola lahan ini berdasarkan sertifikat hak guna usaha atau HGU.