Transisi Energi di Indonesia, Dua Sumber Energi Ini Dapat Jadi Pilihan Menjanjikan

anjungan-tambang-minyak-di-tengah-laut
anjungan-tambang-minyak-di-tengah-laut (Foto : )
Indonesia sudah berkomitmen transisi energi dari energi fosil ke energi terbarukan yang ramah lingkungan. Selama masa transisi, ada dua sumber energi jadi pilihan menjanjikan. 
Dalam pemaparan Energy Outlook, Sekjen Asosiasi Perusahaan Minyak dan Gas (Aspermigas) Moshe Rizal menyebut, saat ini masih dalam kondisi krisis akibat pandemi Covid-19. Kondisi demikian yang membuat para pebisnis berhati-hati dalam menyusun portofolionya karena belum dapat memprediksi kapan pandemi akan berakhir. Menurutnya, dari sektor energi, terjadi penurunan permintaan energi global sebesar 4,5 persen. Ini terjadi karena ada pembatasan perjalanan, penutupan wilayah dan sebagainya. Kabar baiknya, pandemi ternyata berhasil mengurangi emisi karbon global hingga 6,3 persen. Ini merupakan penurunan yang terbesar sejak Perang Dunia Kedua. "Dari lihat trennya memang ada pengurangan konsumsi energi karena insiiatif-insiatif mengurangi karbon emisi dan untuk efisiensi," kata Moshe dalam pelatihan media yang digelar Aspermigas, Minggu (26/9/2021). Pandemi ini juga mendorong negara-negara berinisiatif berkomitmen mengurangi emsi karbon. Perusahaan-perusahaan migas terutama dari Eropa, kata Moshe, juga sudah menyatakan untuk melakukan transisi energi, dengan tidak hanya fokus ke bisnis migas saja tapi juga sudah mulai ke energi terbarukan. Memang sejauh ini batubara saat ini masih merupakan sumber energi termurah yang banyak dipakai di dunia. Ini terutama di negara-negara kawasan Asia Pasifik dengan China sebagai pemakai terbesarnya. Namun sudah banyak negara berkomitmen beralih dari batubara untuk menggunakan energi lain. Indonesia sendiri juga masih tergantung dari batubara. Sekira 30 persen konsumsi energi berasal dari batubara. [caption id="attachment_495971" align="alignnone" width="900"]
Sekjen Aspermigas Moshe Rizal (Foto: tangkap layar Zoom)[/caption]

Energi Gas

Menurut Moshe, ada dua sumber energi yang dapat dijadikan pilihan menjanjikan dalam masa transisi menuju energi terbarukan di Indonesia. Pertama adalah sumber energi dari gas alam. "Di Indonesia banyak sekali penemuan gas. Ini dapat jadi energi transisi menuju renewable energy," kata Moshe. Memang pemakaian gas di kawasan Asia Pasifik belum digunakan secara masif. Namun dibanding pemakaian minyak dan batubara, gas jauh lebih bersih. [caption id="attachment_496000" align="alignnone" width="900"] Grafik: Aspermigas[/caption] "Soal gas, potensinya sangat besar dan jauh lebih bersih dari batubara dan minyak. Ini harus kita push karena resource-nya ada, tidak perlu impor. Ini dapat dimanfaatkan untuk konsumsi dalam negeri," papar Moshe. Bahkan di berbagai negara, pemakaian gas sebagai sumber energi cukup tinggi. Sebagai negara kepulauan, Indonesia cocok menggunakan gas sebagai energi transisi karena dapat dikirim dengan menggunakan kapal. Namun yang jadi masalah, untuk mengkonversi pembangkit listrik tenaga batubara butuh biaya tak sedikit. Apalagi diperlukan terminal-terminal untuk penyimpanan gas dari daerah lain.

Energi Nuklir

Salah satu energi lain yang dapat jadi alternatif transisi energi di Indonesia adalah tenaga nuklir. Menurut Moshe, tenaga nuklir cukup aman jika dibandingkan dengan minyak. Polusinya juga jauh lebih kecil dan sangat bersih. Dikatakan, tenaga nuklir cocok dibangun di Kalimantan yang jarang terjadi gempa bumi. Tenaga nuklir juga dinilai bagus untuk memasok kebutuhan energi ibu kota baru. Saat ini, kata Moshe, teknologi nuklir untuk listrik, sudah memasuki generasi keempat. China sendiri sudah membangun pembangkit listrik tenaga nuklir dengan teknologi terbaru itu dan akan beroperasi tahun ini. [caption id="attachment_496001" align="alignnone" width="949"] Grafik: Aspermigas[/caption] Dikatakan, teknologi nuklir generasi keempat ini hampir tidak ada risiko meltdown atau meleleh. Ini yang membuatnya berbeda dengan teknologi nuklir konvensional sebelumnya. Moshe menegaskan Indonesia sudah memiliki kemampuan untuk membangun pembangkit listrik tenaga nuklir. Bahkan kemampuan sumber daya manusia (SDM) di negeri ini sudah lebih maju dibandingkan negara ASEAN lainnya. Soal penolakan sebagian kalangan tentang pembangunan PLTN, Moshe menyebutnya seperti persepsi naik pesawat terbang. "Penolakan itu terkait persepsi. Sama saja kayak naik pesawat. Naik pesawat lebih berbahaya dari mobil. padahal dari rate kecelakaan di mobil jauh lebih tinggi dari pasawat," katanya. Padahal jika radioaktif dari tenaga nuklir ditangani secara seksama dan sesuai aturan, seharusnya tidak ada masalah. Moshe juga membandingkan dengan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) yang merupakan energi terbarukan dan ramah lingkungan. Menurutnya,  PLTS  menggunakan baterai sebagai media penyimpan energi. Sementara baterai memiliki masa usia pakai yang harus diganti secara berkala. Sementara baterai bekas akan menimbulkan masalah baru karena merupakan limbah beracun yang juga harus ditangani secara hati-hati. "Seperti solar pv, itu ada baterai yang harus di-replace sehingga (baterai bekas) itu toxid. Itu juga (dapat membuatnya) tidak green (energy)," katanya lagi.