Terungkap, Indonesia Penghasil Sampah Makanan Terbesar Kedua Dunia, Kerugian Rp 551 Triliun

Terungkap, Indonesia Penghasil Sampah Makanan Terbesar Kedua Dunia, Kerugian Rp 551 Triliun (Foto Pixabay)
Terungkap, Indonesia Penghasil Sampah Makanan Terbesar Kedua Dunia, Kerugian Rp 551 Triliun (Foto Pixabay) (Foto : )
Berdasarkan data The Economist Intelligence Unit, Indonesia merupakan penghasil sampah makanan (food loss and waste/FLW) kedua terbesar di dunia.
Posisi Indonesia diapit oleh Arab Saudi di peringkat pertama dan Amerika Serikat pada peringkat ketiga.Merespons data ini, Kementerian PPN/Bappenas RI melakukan kajian lanjutan terhadap riwayat FLW yang terjadi di Indonesia. Bahkan sampai 20 tahun ke belakang.Dari penelusuran data yang dilakukan, kerugian ekonomi Indonesia akibat mubazir pangan adalah sebesar 4-5 persen Produk Domestik Bruto (PDB) nasional. Atau setara dengan Rp213-551 triliun per tahun.“Secara ekonomi, ini merugikan sekali. Bayangkan, banyak sekali makanan yang dibuang hingga mencapai 4-5 persen PDB kita kalau dihitung secara keseluruhan,” ucap Direktur Lingkungan Hidup Bappenas, Medrilzam.Hal itu disampaikan Medrilzam dalam acara talk show yang digelar secara virtual Low Carbon Development Indonesia (LCDI), Selasa (12/10/2021).Mewakili Bappenas, Medrilzam menjelaskan lebih lanjut soal persentase sampah makanan Indonesia yang mendominasi 44 persen dari seluruh jenis limbah. Yaitu 23-48 juta ton per tahun. Spesifiknya, setiap orang membuat sampah makanan sebanyak 115-185 kg per tahun.“2000 sampai 2019 trennya naik, dari 115 kg per orang per tahun, jadi 184 kg per orang per tahun. Bayangkan saja, jika digabung, kita bisa kasih makan 125 juta porsi tiap tahun. Tentu ini bisa mengentas kemiskinan,” lanjutnya.Tak hanya membahas soal peringkat Indonesia di kancah global atau kerugian ekonomi, Medrilzam juga membahas soal emisi gas rumah kaca yang timbul karena FLW.Lantaran, Bappenas menemukan data bahwa emisi yang timbul karena limbah makanan adalah sebesar 1.702,9 Mt CO2-Ek. Atau mudahnya, setara dengan luas pulau Jawa dan Nusa Tenggara Barat jika ditanami pohon.“Secara signifikan, FLW jadi menjadi 7 persen dari total emisi Indonesia per tahun. Ini sumber inefisiensi! Intensifikasinya harus diperhatikan dan diperbaiki. Oke, produksi (makanan) didukung, tapi harus ada efisiensi,” tutupnya, seperti dikutip dari Kumparan.