Tiada Setetes Darah Bharata dalam Saya dan Dian Sastro pula Pandawa dan Kurawa

Tiada Setetes Darah Bharata dalam Saya dan Dian Sastro pula Pandawa dan Kurawa
Tiada Setetes Darah Bharata dalam Saya dan Dian Sastro pula Pandawa dan Kurawa (Foto : )
Darah Bharata menurunkan Wangsa Bharata. Begitulah yang seharusnya. Namun ternyata tidak dalam kitab Mahabharata. Bahkan, tidak ada setetes darah Bharata yang diturunkannya. Putus di para putra Prabu Santanu. Tidak setetespun ada dalam Pandawa pun Kurawa. Tidak pula dalam saya pun Dian Sastro. 
Muak! Ya! Muak karena setiap hari disuguhi berita dan informasi tentang pandemi, tentang Covid-19 yang tidak enak disimak. Situasi politik negeri yang sudah tidak ciamik. Celoteh para narsis yang hanya membuncahkan konflik. Saat itu pukul 14.35 WIB. Hasrat menulis amat tipis. Saya alihkan pandangan dari laptop lawas andalan ke deretan televisi. Ada tayangan Mahabharata di stasiun televisi ANTV. [caption id="attachment_389505" align="alignnone" width="500"]
Tiada Setetes Darah Bharata dalam Saya dan Dian Sastro pula Pandawa pun Kurawa Foto: Ilustrasi Jagatnatha[/caption] Tiba-tiba jiwa saya menerawang jauh ke seberang lautan. Mata saya terpejam. Tipis bedanya apakah saya saat itu melamun atau tertidur. Saya bertanya-tanya tentang wangsa Bharata yang sangat populer ini.

Spontan nampak satu area luas dengan panorama hijau indah, aliran air yang bening, dan penduduk yang bersuka cita.  yang tanah dan bebatuannya berkilau bagai kaca. Hastinapura?

Spontan kemudian berganti menjadi hiruk pikuk. Api beterbangan di angkasa. Asap mengepul pekat di daratan. Kilat menyambar-nyambar langit maupun bumi. Desing, dengung dan denting memekakkan telinga. Orang-orang terkapar di jalanan. Bharatayudha?

Mahabharata ... Bharatayudha ... Bharata? Ya! Bharata adalah sumber utama wiracarita Mahabharata. Sumber utama adanya Wangsa Bharata hingga Bharatayudha.

Ah, saya tersadar. Menyeruput es teh setengah manis, tersenyum, karena jadi ingat Dian Paramita Sastrowardoyo. Dian Sastro. Si jelita yang menjadi dambaan hampir semua laki-laki di seantero Indonesia kecuali saya. Sri Munaroh adalah the one and only buat saya. Tiga tahun silam, 2017, Dian pernah bercerita kepada saya secara tidak langsung, melalui instagramnya yang belum saya follow hingga akhirnya hari ini saya following, tentang penggalan kisah Mahabharata versi R.A. Kosasih. [caption id="attachment_389499" align="alignnone" width="900"]Tiada Setetes Darah Bharata dalam Saya dan Dian Sastro pula Pandawa pun Kurawa Foto: Instagram @therealdisastr[/caption] Jeng Dian bercerita tentang perjalanan cinta Prabu Santanu yang menjomblo sekian lama. Prabu Sentanu adalah turunan ke-8 dari Prabu Nahusta. Santanu saat itu berburu ke dalam rimba dan menyusuri Sungai Gangga, kemudian bertemu Satyawati dan langsung jatuh cinta. Satyawati adalah janda dari Begawan Palasara. Satyawati hanya mau dipinang Santanu jika anaknya kelak menjadi putra mahkota. Prabu Santanu galau. Permintaan ini ditolak Santanu yang sangat sayang pada Dewabrata, anak tunggalnya. Dewabrata yang berhak atas tahta Hastinapura. Namun, Santanu juga memendam rasa cinta mendalam pada Satyawati, sehingga dia jatuh sakit berhari-hari.

Santanu yang saat itu adalah raja muda Hastinapura jatuh cinta kepada Dewi Gangga yang dihukum turun ke Bumi. Dari pernikahan ini lahir Dewabrata. Sesudah hukumannya habis, Dewi Gangga kembali ke kahyangan. 

Dewabrata mengetahui musabab ayahandanya sakit setelah bertanya kepada sais kereta. Musababnya, jatuh cinta. Membekas dalam pertemuan antara ayahanda dengan seorang gadis penangkap ikan di pinggiran sungai Yamuna. Usut punya usut, wanita penakluk hati Prabu Santanu adalah Satyawati atau Setyowati dalam lafal Jawa tengahan. Maka pergilah Dewabrata kepada ayah perempuan jelita itu, dan meminangkannya untuk Prabu Santanu, ayahandanya. Dewabrata juga bersumpah pada Satyawati bahwa dia tidak akan menjadi naik tahta. Ini membuat Satyawati mau diperistri Santanu.

Santanu dan Setyawati akhirnya menikah dan dikaruniai dua anak yaitu Citragada dan Wicitrawirya. 

Dewabrata bahkan kemudian bertapa, mengucapkan sumpah yang dahsyat untuk melakoni hidup Wadat atau Selibat, tidak akan beristri hingga akhir hayat agar tidak ada keturunannya yang mempeributkan tahta. https://www.instagram.com/p/B02NElcBOk2/?igshid=cna5nd87ci1b Ketulusan hati Dewabrata sampai ke langit. Kahyangan gonjang-ganjing. Langit gemerlapan. Terdengar puja-puji mantram mengiringi turunnya Bathara Narada. Batara Narada turun dan memberkati Dewabrata. Ada tiga hal dahsyat yang disampaikannya untuk Dewabrata: 1. Tapa Bratha berkenan bagi para Dewata 2. Langit bergema kata Bhisma (artinya, Dia yang sumpahnya dahsyat) 3. Mahasakti 4. Menentukan sendiri ajalnya Oke, ini artinya sudah terang-benderang Dewabrata alias Bhisma tidak menjadi pewaris tahta Hastina. Ini artinya pula tidak ada darah Wangsa Bharata pada pewaris tahta Hastinapura setelah Prabu Santanu. Setelah kematian Santanu, Citragada menggantikan sang ayah, dengan didampingi Bhisma. Citragada kemudian dikisahkan mati saat berperang dan digantikan Citrawirya, adiknya. Ini yang menarik dan saya yakin Jeng Dian Sastro akan mengangguk-angguk setelah mendengarnya. Bahwa menurut logika, pewaris tahta Hastinapura yang sah secara darah hanya tiga yaitu Bhisma, Citragada dan Citrawirya. Mengapa? Karena mereka anak sahPrabu Santanu. Sedangkan faktanya, justru Pandawa dan Kurawa adalah keturunan Abiyasa.  Sama seperti saya dan Jeng Dian Sastro, tidak ada garis darah dari Prabu Santana. Sebagai tambahan, ini silsilah singkat Pandawa dan Kurawa: Tiada Setetes Darah Bharata dalam Saya dan Dian Sastro pula Pandawa pun Kurawa

Wicitrawirya kemudian menikahi dua putri Kerajaan Kasi yaitu Ambika dan Ambalika. Namun tidak berketurunan.

Dengan segala pertimbangan akhirnya Setyawati meruntuhkan egonya soal anak yang harus naik tahta. Beserta para tetua Hastinapura, Setyawati meminta Bhisma untuk naik tahta. Bhisma menolak, karena dirinya sudah bersumpah.

Bhisma justru menyarankan Setyawati meminta Abiyasa, anak hasil pernikahannya dengan Begawan Palasara. Abiyasa memang telah terlupakan karena kejelekan wajah dan baunya.

Abiyasa bersedia memberikan keturunan kepada Hastinapura lewat Ambika dan Ambalika, lalu akan kembali bertapa. Dari Ambika lahir Destarata sedangkan dari Ambalika lahir Pandu Dewanata.

Pandu memiliki dua istri, Kunti dan Madrim. Dari rahim Kunti lahir Yudistira, Bima, dan Arjuna. Sedangkan hasil perkawinannya dengan Madrim lahir Nakula dan Sadewa. Kelima anak Pandu ini kemudian dikenal dengan PANDAWA.

Setelah Pandu meninggal, tahta kerajaan dipegang oleh Destarata. Pernikahan Destarata dengan Gandari, putri Kerajaan Gandhara — Pakistan sekarang, melahirkan seratus anak (99 laki-laki dan seorang perempuan) yang dikenal dengan KURAWA.

[caption id="attachment_389503" align="alignnone" width="900"]Tiada Setetes Darah Bharata dalam Saya dan Dian Sastro pula Pandawa pun Kurawa Bhisma gugur, wayang kulit purwa gaya Surakarta karya Heru S Sudjarwo - 22 Mei 2014.[/caption] Drama kehidupan wangsa besar ini bahkan ditulis Mpu Wyasa, Mahabharata judulnya. Kitab ini terdiri dari delapan belas kitab, maka dinamakan Astadasaparwa (asta = 8, dasa = 10, parwa = kitab). Apakah kisah dalam Mahabharata ini simbolik atau kejadian nyata? Entah ...