Cucu Sultan Keraton Jogja Naik ke Merapi. Ada Apa?

Cucu Sultan Keraton Jogja Naik ke Merapi. Ada Apa?
Cucu Sultan Keraton Jogja Naik ke Merapi. Ada Apa? (Foto : )
Cucu Sultan Jogja resah! Raden Mas Gustilantika Marrel Suryokusumo, naik ke Merapi. Gunung yang disakralkan masyarakat adat Yogyakarta. Ada apa antara cucu Sri Sultan Hamengku Buwono X dan alam Merapi?
Raden Mas Gustilantika Marrel Suryokusumo adalah putra sematawayang GKR Condrokirono, putri kedua Sri Sultan Hamengku Buwono X. Pun, cucu tertua Sri Sultan Hamengku Buwono X.

Sri Sultan Hamengku Buwono X dan Gusti Kanjeng Ratu Hemas dianugerahi lima anak perempuan, yakni GKR Mangkubumi, GKR Condrokirono, GKR Maduretno, GKR Hayu dan GKR Bendoro.

Pangeran muda dari Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat ini, Sabtu (5/9/2020) naik ke lereng Gunung Merapi. Ada apa? Apakah sudah saatnya mewarisi tahta Keraton Jogja? Belum! Gustilantika Marrel resah! Ya! Resah pada kelestarian alam lereng Gunung Merapi. Jika tidak diperhatikan, lereng Merapi tidak akan punya nilai guna apapun, malah justru akan merugikan masyarakat di masa yang akan datang. Sebagai bangsawan keraton Jogja, Marrel mengemban tugas untuk ikut memikirkan kelangsungan hidup masyarakat yang bermukim di sekitar Merapi, wilayah ampu Keraton Ngayogyakarto Hadiningrat. Itulah yang membuatnya naik ke lereng Gunung Merapi. Melihat langsung kondisi lingkungan dan membangun simpul komunikasi dengan kelompok-kelompok masyarakat. [caption id="attachment_371320" align="alignnone" width="900"]Pewaris Tahta Keraton Jogja Naik ke Merapi. Ada Apa? Foto: Istimewa[/caption] "Ada hajat hidup warga masyarakat yang saling berkait, misalnya persoalan air," kata Marrel saat menjajal lintasan All Terrain Vehicle (ATV) Watugede, Bronggang, Argomulyo, Cangkringan, Kabupaten Sleman, Sabtu (5/9/2020). Di kawasan Watugede ini, Marrel menyempatkan diri berdiskusi dengan Suhartono Kecik, pengelola wisata petualangan itu untuk menggali data. Suhartono bersama masyarakat sekitar mencoba mengelola lahan seluas 5 hektare di antara dua bendung sabo penahan lahar dingin. Tentu tanpa mengubah kontur, elevasi serta fungsi bantaran Sungai Gendol dan daerah tangkapan airnya. Mereka mengelola bantaran sungai agar lebih berdaya guna dan tidak merusak lingkungan, yaitu untuk lintasan ATV. Lebih bersahabat dengan alam daripada menambang pasir dan batu. Rusak ekologi namun nilai ekonomi tidak sebanding. "Ternyata bisa, industri jasa wisata berdampingan dan mempertimbangkan fungsi ekologis. Jadi tidak mengancam pasokan air untuk petani di bawahnya," ujar Marrel. [caption id="attachment_371317" align="alignnone" width="900"]Pewaris Tahta Keraton Jogja Naik ke Merapi. Ada Apa? Cucu Sri Sultan Hamengku Buwono X RM Gustilantika Marrel Suryokusumo menjajal lintasan ATV Watugede di Bronggang, Argomulyo, Cangkringan, Sleman, Sabtu (5/9). Foto: Istimewa[/caption] Selain mencoba lintasan, pehobi speed offroad ini juga didaulat untuk menanam pohon jenis beringin di bantaran Sungai Gendol. Marrel juga menyatakan bersedia untuk menjadi bagian tim Suhartono dan Komunitas Pagar Merapi yang berupaya "menyembuhkan" lahan kritis lereng Merapi. [caption id="attachment_371321" align="alignnone" width="900"]Pewaris Tahta Keraton Jogja Naik ke Merapi. Ada Apa? Foto: Istimewa[/caption] Sekitar 1.200 pohon beringin telah disiapkan oleh komunitas untuk ditanam secara berkala di beberapa lokasi rawan. Mengapa beringin? "Selain akarnya dapat menahan erosi, pohon beringin juga memiliki kemampuan menyerap air yang baik," kata Suhartono. Persoalan air juga menjadi fokus Marrel. Menurutnya, lereng Merapi adalah daerah tangkapan air (water catchment area) yang menyangga pasokan hampir seluruh sungai di wilayah Yogyakarta. Sarjana jurusan Hubungan Internasional dan Politik dari Inggris itu menyebut, pasokan air dari lereng Merapi cukup vital bagi kelangsungan hidup warga Yogyakarta. Persoalan produksi pangan di Yogyakarta memiliki persoalan yang pelik. Lahan pertanian di seluruh provinsi seluas 100 ribu hektare pada tahun 2016 dan terus berkurang akibat gerusan peruntukkan lain, pasokan air yang tidak stabil dan pertambahan penduduk menjadi benang kusut yang harus diurai. "Selain itu, produktivitas juga tidak semua optimal karena kualitas lahan yang tidak semuanya baik," kata Marrel. Untuk memenuhi kebutuhan, Yogyakarta harus melakukan distribusi silang dengan memasok kebutuhan pangan ke kabupaten yang minus dari kabupaten lain yang mengalami surplus. Langkah itu diakui Marrel tidak dapat dilakukan terus menerus karena cepatnya laju pertambahan penduduk, terutama akibat urbanisasi spasial di wilayah pinggiran Yogyakarta.

Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) belum lama ini merilis hasil penelitian yang menyebut Pulau Jawa diperkirakan akan kehilangan air pada tahun 2040. Padahal, Indonesia merupakan salah satu negara terkaya dalam sumber daya air karena menyimpan 6% potensi air dunia.

Berdasarkan penelitian para ahli LIPI yang dipublikasikan dalam kajian lingkungan hidup strategis dalam rangka Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Bappenas tahun 2019 itu, krisis air dan bencana kekeringan mengancam dalam waktu yang tidak terlalu lama lagi itu dipicu perubahan iklim, pertambahan penduduk hingga alih fungsi lahan.

Selain mengunjungi ATV Watugede, Marrel juga menyempatkan diri bertemu langsung dengan kelompok masyarakat di Kaliurang Timur. Di wilayah ini, Marrel diajak mengunjungi program rintisan pengelolaan pariwisata tanpa mengubah fungsi lahan. [caption id="attachment_371318" align="alignnone" width="900"]Cucu Sultan Keraton Jogja Naik ke Merapi. Ada Apa? Cucu Sri Sultan Hamengku Buwono X RM Gustilantika Marrel Suryokusumo berbincang tentang kelestarian alam lereng Merapi, Sabtu (5/9). Foto: Istimewa[/caption] Agus Kampala, pegiat kultivasi kopi di wilayah Kaliurang Timur dalam kesempatan berdialog menyampaikan, warga di lingkungan tempat tinggalnya memang berkeinginan untuk turut ambil bagian dalam kegiatan wisata. Namun sebagai masyarakat petani dan peternak, Agus menyebut warga tidak ingin lahan mereka berubah menjadi villa, hotel dan bangunan penunjang wisata lain. Jika harus membangun fasilitas akomodasi, warga Kaliurang Timur memilih untuk membuatnya secara semi permanen, dengan bahan yang tidak merusak fungsi kebun mereka. Merespon hal itu, Marrel menyatakan dukungannya kepada konsep kemasan wisata tersebut. Karena selain tidak merusak lingkungan, kemasan wisata itu juga dapat dijadikan contoh bagi masyarakat di daerah lain di Yogyakarta bagaimana cara berdampingan dengan alam dan tetap berpenghasilan. [caption id="attachment_371323" align="alignnone" width="900"]Pewaris Tahta Keraton Jogja Naik ke Merapi. Ada Apa? Cucu Sri Sultan Hamengku Buwono X RM Gustilantika Marrel Suryokusumo. Foto: Istimewa[/caption] "Ide, inovasi dan usulan pengelolaan potensi tanpa merusak ini menjadi masukan buat saya. Terimakasih, karena kalau tidak disampaikan langsung begini, keraton sering hanya dapat kabar yang baik-baik saja," ungkap Marrel. [caption id="attachment_371319" align="alignnone" width="900"] Foto: Istimewa[/caption] Menutup pertemuan, Marrel berpesan agar masyarakat baik di Kaliurang Timur maupun Bronggang tetap berupaya menjaga lingkungan lereng Merapi. Karena, selain menopang ketersediaan air yang penting bagi pertanian dan sektor lain di Yogyakarta, Merapi juga memiliki fungsi kultural karena sebagai kota budaya, berbagai ritual keraton kerap digelar di gunung itu.