Batik dalam Perang Budaya Jogja dan Solo dan Mitos Anyaran

Batik Perang Budaya
Batik Perang Budaya (Foto : )
Perjanjian Giyanti (1755) membelah Kasunanan Surakarta menjadi dua. Kasunanan Surakarta dan Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Celakanya, seluruh koleksi batik Solo dibawa ke keraton baru di Jogja oleh Pangeran Mangkubumi. Dari sini, dimulailah perang dingin budaya. Batik menjadi alat perang paling halus sekaligus menyakitkan.
[caption id="attachment_236935" align="alignnone" width="500"]
Batik Perang Budaya Batik motif Slobok[/caption] Batik Solo motif Krambil Sesungkil dan Slobok dipakai para isteri bangsawan Kasunanan Surakarta untuk berkabung, melayat. Sedangkan di Jogja malah dipakai para punakawan. Dipakai untuk komedi. Dagelan. [caption id="attachment_236929" align="alignnone" width="600"]Batik Perang Budaya Batik motif Kawung[/caption] Begitu juga sebaliknya, batik Jogja motif Kawung yang dipakai untuk melayat, di Solo dipakai oleh para punakawan. Benar-benar perang budaya. Ejekan yang sangat menghina pada waktu itu. Hal itulah yang membuat Raja Surakarta, Paku Buwono III terguncang. Untuk meredam “perang” ini ia melakukan meditasi kungkum (berendam) di Kali Kabanaran. Lokasi ini persis di dekat makam Ki Ageng Henis. Hal itu ia lakukan pada malam hari. Hanya ditemani penerangan teplok, lampu minyak sederhana. [caption id="attachment_236930" align="alignnone" width="1200"]Batik Perang Budaya Batik motif Udan Riris[/caption] Saat dinihari, hujan gerimis mulai turun. Hujan gerimis yang tertangkap oleh cahaya teplok itulah yang kemudian hari menjadi motif Udan Riris. Saat itu Rara Beruk telah menjadi permaisuri kedua bergelar Kanjeng Ratu Kencono. Kanjeng Ratu Kencono yang jenius mengajar seluruh abdi dalem dan masyarakat untuk membatik. Menciptakan motif baru yang berbeda dari motif sebelumnya. Jika batik warisan Ki Ageng Henis (Sidoluhur dan Parang) lebih mengarah pada gaya geometris, maka batik Solo tradisi Kanjeng Ratu Kencono lebih bernuansa bulatan. Perkawinan Kanjeng Ratu Kencono dan Pakubuwono III dikaruniai seorang putra. Mereka namakan Kanjeng Pangeran Purboyo. Dialah yang kelak menjadi Paku Buwono IV (1788). Periode Paku Buwono IV (bertahta 1788–1820 M) adalah periode kebebasan berekspresi bagi rakyat kebanyakan. Sebelum Paku Buwono IV, batik dijadikan alat untuk menjalankan kekuasaan maka pada masa Paku Buwono IV banyak motif batik yang lahir dari rakyat biasa. Mitos anyaran era kamardikan pun bermunculan. Mitos batik Kopohan. Batik ini digunakan hanya sebagai pembungkus bayi.  Biasanya dipakai motif-motif batik sidomulyo, sidoluhur, sidomukti, semenrama, wahyu tumurun dan lain-lain. Batik ini digunakan oleh satu keluarga batih (keluarga sederhana yang terdiri dari ayah, ibu, dan anak-anak yang masih belum berkeluarga). Digunakannya sekali secara turun-temurun. Hanya sebagai pembungkus bayi saat bayi baru lahir. Kemudian dicuci hanya oleh pihak keluarga. Setelah itu disimpan dalam lemari bersama wewangian dari akar lara setu. Kain ini baru boleh dikeluarkan dari lemari sebagai suwuk (terapi magis) bagi si bayi saat sakit. [caption id="attachment_236932" align="alignnone" width="600"]Batik Perang Budaya Batik motif Kembang Bangah[/caption] Mitos lain adalah motif Kembang Bangah. Batik Kembang Bangah adalah ungkapan protes terhadap pemerintah yang kapitalis. Tidak berpihak pada rakyat jelata. Kembang Bangah adalah bunga bangkai yang berkelopak indah tapi baunya sangat busuk. Kembang bangah diciptakan oleh Go Tik Swan pada 1992. Dialah orang pertama dari etnis Tionghoa yang memperoleh anugerah derajat tertinggi keraton, karena dedikasi dan kontribusinya yang luar biasa terhadap kebudayaan Jawa. Tari, batik, patung purbakala, dan keris. Go Tik Swan bergelar Panembahan Hardjonagoro. Sejak tahun 1950 hingga 2008 dia mengabdikan dirinya secara total di dunia perbatikan. Sedikitnya 200 motif batik telah diciptakannya. Sumber: Otobiografi Go Tik Swan Hardjonagoro, Orang Jawa Sejati, penulis Roestopo.