Tradisi Pepe! Unjuk Rasa Jadul vs Demonstrasi Modern

Tapa Pepe
Tapa Pepe (Foto : )
Soal demokrasi, kita telah diracuni ideologi imporan. Salah satunya Unjuk Rasa atau Demonstrasi. Padahal, bhumi Jawa punya tata cara anti kekerasan menyampaikan aspirasi. Tradisi Pepe!
Mari kita bermain-main dengan kata.
Demonstrasi dan Unjuk Rasa sejatinya punya kedalaman makna yang berbeda. Demonstrasi lebih pada pamer sesuatu, apakah itu negative atau positif. Juka mau lebih usil, pecah saja kalimat itu menjadi Demons dan Trasi/tratie. Demons artinya orang yang bengis, tidak mengenal belas kasihan, makhluk atau roh yang jahat, hantu, atau setan. Tratie dalam bahasa Belanda artinya tata usaha, pengorganisasian. Singkatnya gerakan jahat yang terorganisasi. Unjuk rasa lebih dalam maknanya. Unjuk artinya memberi tahu. Rasa artinya pertimbangan tentang keadilan. Unjuk rasa adalah tata santun bagaimana menyampaikan protes tentang ketidakadilan. Unjuk Rasa serasanya lebih enak untuk dipergunakan. Ah, sudahlah. Topo Pepe, Unjuk Rasa Senyap Kini kita ngomongin soal tradisi santun menyampaikan aspirasi. Bhumi Jawa punya yang namanya Tradisi Pepe atau Topo Pepe. Topo adalah tapa atau bertapa, meditasi, introspeksi. Pepe artinya berjemur di bawah terik matahari. Berpanas-panas membakar ego. Tiada lain topo pepe hanyalah memperjuangkan keadilan. Topo Pepe tujuannya menyampaikan aspirasi. Menggugah logika penguasa. Merasuk nurani pamong negeri. Membangunkan penguasa yang tidur lelap mengabaikan kepentingan rakyat. Aksi ini bisa dilakukan beberapa orang maupun sendirian. Tapa Pepe Langit Kresna Hariadi, Gajah Mada: Tahta dan Angkara, (Yogyakarta, Tiga Serangkai, 2009) menyebutkan aksi ini sudah dikenal sejak era Majapahit. Terus bertahan hingga Mataram Islam (Jogjakarta & Surakarta). Itulah salah satu fungsi lapangan luas terbuka yang kita kenal dengan nama Alun-alun. Orang atau sekelompok orang yang berunjuk rasa datang ke alun-alun. Duduk bersila, berdiam diri menghadap ke arah singgasana raja. Senyap! Hebatnya, aksi ini tidak dianggap pembangkangan terhadap raja. Posisi raja sebagai pengemban keadilan—perwujudan Sang Ratu Adil punya konsekuensi mendengar unjuk rasa rakyatnya. Dari sinilah raja menetapkan titah atau sabda. Tapa PepeDemonstrasi Modern Bagaimana dengan sekarang? Kini lazimnya yang dipakai kata demonstrasi. Demonstrasi modern kerap dilakukan oleh organisasi kemasyarakatan ataupun kelompok mahasiswa. Dengan dalih demokrasi mereka seolah memaksakan kehendak. Jikalau lambat direspon maka vandalisme terjadi. Kekerasan! Kerusuhan! Di masa lalu, apakah ada demokrasi? Ada namun tidak sedemokratis kini. Semua tetap terserah penguasa. Bagaimana titah raja. Apa sabda raja. Namun kesantunan rakyat untuk berunjuk rasa mampu membuat raja menaruh perhatian. Sekali lagi, unjuk rasa jadul ini jauh dari kekerasan, keberingasan, maupun hingar binger. Mengapa? Mereka yang topo pepe tidak membawa senjata, apalagi megaphone maupun toa untuk berteriak-teriak parau. Tapa PepeGumam Sunyi Negeri Masyarakat Indonesia kini nampaknya sedang berjalan mundur. Padahal warisan leluhur terkait demokrasi negeri adalah modal menghadapi masa depan. Sejatinya kita tidak sedang menuju sebagai negeri yang modern. Kita hanya silau dan dimangsa modernitas. Sadarkah bahwa dalam kehingar-bingaran modernitas, ada gumam sunyi tentang nilai-nilai, norma-norma, dan spiritualitas? Pada 1942, Kusbini menggubah lagu berjudul Bagimu Negeri. Sarijah menyanyikannya pertama kali dalam suatu siaran radio militer Jepang.

Padamu negeri kami berjanji Padamu negeri kami berbakti Padamu negeri kami mengabdi Bagimu negeri jiwa raga kami

Masih hafal bagaimana menyanyikannya?