Sebuah Kado Pensiun Untuk Butet, Resensi Buku Jejak Langkah Owi-Butet

Resensi buku Butet
Resensi buku Butet (Foto : )
Judul buku: Jejak Langkah Owi-Butet
Penulis : Daryadi
Penerbit: "Bakti Olahraga Djarum Foundation" PAGI  itu Olly Maramis memasukkan makanan kesukaan anaknya, Lilyana, ayam goreng dan sayur. Liliyana tak berani memandang wajah sang mama. Nasi yang awalnya kering, perlahan mulai basah. Bukan oleh kuah sayur, tapi air mata yang menetes dari mata Liliyana Natsir.Hari itu Olly meninggalkan anaknya yang baru berumur 12 tahun untuk berlatih dan tinggal di asrama Persatuan Bulu Tangkus Tangkas Jakarta.Tiga bulan sebelumnya, mereka berdua meninggalkan ayah Liliyana, Beno di Manado, untuk memenuhi cita-cita sang anak. Menjadi pemain bulutangkis. Keluarga Beno paham, hanya dengan berlatih di klub besar, bakat bulutangkis sang anak akan terasah dan bersinar.  Namun Olly tak mungkin terus menerus menemani anaknya terus menerus tinggal di Jakarta.Maka sepanjang jalan menuju Bandara Soekarno-Hatta, Olly tak bisa menahan tangisnya."Mama cerita, sewaktu di pesawat masih saja menangis. Orang yang melihat mama menangis berfikir mungkin ibu ini sedang sedih karena ditinggal anaknya wafat. Padahal kan hanya berpisah saja,"kenang Liliyana Natsir.Hari ini menjadi fase penting bagi Liliyana Natsir, dia harus jauh dari orangtuanya dan memilih jalan hidupnya, menjadi seorang atlet.Sepeninggal ibunya kembali ke Manado, Lili kecil melupakan kesedihannya dengan menyibukkan diri berlatih. Dia menambah sendiri porsi latihannya untuk melupakan kesedihan.Beruntung di Asrama PB Tangkas banyak orang-orang Manado yang menyayanginya seperti adiknya sendiri.Di Asrama itu pula dia sekamar dengan Muhrini. Adalah Muhrini yang pertama kali memanggilnya Butet, mesti tak ada sedikitpun darah Batak mengalir di tubuhnya. Menurut Muhrini, yang juga merantau dari Medan, nama Butet lebih pantas untuknya, karena dia adalah paling kecil di klub itu dan adik bungsu bagi Muhrini."Jadi mulai hari ini kamu saya panggil Butet, bukan Yana,"kata Muhrini. Sejak saat itu semua orang memanggilnya Butet. Terkadang ada yang memanggilnya Cik Butet, karena darah Tionghoa dalam diri Liliyana.Kisah-kisah manusiawi yang menyentuh ini ada dalam buku "Jejak Langkah Owi-Butet" yang ditulis Daryadi, Pemimpin Redaksi Majalan Bulutangkis.Buku ini diterbitkan, memperingati 50 tahun PB Djarum Kudus belum lama ini. Djarum Kudus memang menjadi klub terakhir Butet selepas dari PB Tangkas. Bersama Owi, panggilan akrab Tantowi Ahmad, Liliyana mencatatkan berbagai sejarah penting bulutangkis Indonesia.Daryadi, adalah seorang wartawan yang sejak akhir tahun 80-an menjadi saksi sejarah perjalanan bulutangkis Indonesia. Tulisannya detal dan basah, karena selain seorang wartawan dan komentator bulutangkis di TV,  Daryadi juga adalah pecinta dan pemain butungkis dan olahraga lainnya.Tak heran buku yang dituliskannya ini demikian lengkap. Kekuatan riset dan data, seperti yang menjadi kelebihan Daryadi sedari dulu, menjadi poin penting buku ini sebagai bahan dokumentasi dan juga catatan penting bagi perjalanan Owi dan Butet.Setiap kejuaraan yang diikuti Butet, baik bersama Owi, maupun pasangan sebelumnya Nova Widianto ditulis lengkap, mulai dari siapa lawannya, dan berapa skor saat itu.Selain sisi-sisi kehidupan Butet, buku ini juga menulis perjalanan karier Tantowi Ahmad. Mulai dari perjalanannya dari kampung, bergabung ke PB milik Argo pantes di Tangerang, PB Pusdiklat Olahraga Semen Gresik sampai ditawari masuk PB Djarum Kudus.Kisah-kisah kemenangan dan bergantian dengan kekalahan pasangan legendaris Indonesia mulai dari mencatat hatrick All England, kegagalan di Olimpiade, dan berganti dengan keberhasilan, menjadi catatan penting bagi anak-anak muda yang ingin menjadikan olahraga sebagai jalan hidupnya.Demikian lengkap perjalanan Liliyana- Owi ditulis di buku ini. Masih hangat dalam ingatan, saat tahun lalu, Indonesia menjadi tuan rumah Asian Games 18. Saat itu Owi-Butet memang "hanya" meraih perunggu."Kami harus menerima kenyataan, kami sudah pada fase menurun,"kata Butet saat itu.Indonesia Terbuka di Istora menjadi pertandingan terakhir Butet. Sebuah perpisahan digelar sebelum final saat ini menandai fase akhir Butet di lapangan bulutangkis.Keharuman nama, hadiah miliaran rupiah dan bonus jika juara mungkin menjadi pengemangat para atlet. Namun kisah dalam buku ini juga memberikan gambaran bahwa semuanya tak mudah dicapai. Berlatih keras sejak usia dini, mengorbankan sekolah--Butet hanya menamatkan SD- dan menahan rindu pada keluarga, merupakan sisi pahit yang harus dijalani seorang atlet. Kerja keras dan pantang menyerah yang menjadi kata kunci keberhasilan Butet.Deretan 52 gelar juara, emas Olimpiade Rio de Janeiro 2016, perak Olimpiade Beijing 2008, empat kali juara dunia 39 gelar juara Federasi Bulutangkis Dunia (BWS) termsuk All England, menjadi bukti Butet memang legenda.Selain buku ini, Daryadi menuliskan buku lainnya yang juga diluncurkan pada saat yang sama yakni Kiprah Ahsan-Hendra.Idealnya, setiap atlet yang menjadi legenda dan menyumbangkan hampir seluruh hidup remajanya untuk negeri ini, dituliskan kisah hidupnya. Karena mereka memang layak dikenang. (Machsus Thamrin)