Waspadai Virus Marburg. Angka Kematian Tercatat Tinggi, Gejalanya Mirip DBD

Ilustrasi Virus Marburg
Ilustrasi Virus Marburg (Foto : Shutter Stock)

Antv –Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI mewaspadai potensi masuknya virus Marburg ke Indonesia, karena memiliki tingkat kematian yang tinggi.

Virus Marburg (filovirus) merupakan salah satu virus paling mematikan dengan fatalitas mencapai 88%. Penyakit virus Marburg merupakan penyakit demam berdarah yang jarang terjadi.

Juru Bicara Kemenkes Mohammad Syahril mengingatkan agar pemerintah dan masyarakat tidak lengah terhadap potensi masuknya virus Marburg.

"Kita perlu tetap melakukan kewaspadaan dini dan antisipasi terhadap penyakit virus Marburg," kata dr. Syahril dalam keterangan resminya.

Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan Surat Edaran tentang Kewaspadaan Terhadap Penyakit Virus Marburg, agar pemerintah daerah, fasilitas pelayanan kesehatan, Kantor Kesehatan Pelabuhan, SDM kesehatan, dan para pemangku kepentingan terkait untuk waspada terhadap virus Marburg.

Virus ini satu family dengan virus ebola. Penularan kepada manusia terjadi melalui kontak langsung dengan orang ataupun hewan yang terinfeksi, atau melalui benda yang terkontaminasi oleh virus Marburg.

Marburg menular lewat cairan tubuh langsung dari kelelawar/primate. Kelelawar host alami virus Marburg yaitu Rousettus aegyptiacus bukan merupakan spesies asli Indonesia dan belum ditemukan di Indonesia, namun Indonesia masuk jalur mobilisasi kelelawar ini.

Gejalanya mirip dengan penyakit lain seperti malaria, tifus, dan demam berdarah yang banyak ditemukan di Indonesia. Hal ini, menurut dr. Syahril, yang menyebabkan penyakit virus Marburg susah diidentifikasi.

Gejala tersebut berupa demam tinggi, sakit kepala, nyeri otot, mual muntah, diare, dan perdarahan.

Penyakit ini juga dapat menyebabkan perdarahan pada hidung, gusi, vagina atau melalui muntah dan feses yang muncul pada hari ke-5 sampai hari ke-7.

Belum ada vaksin yang tersedia di dunia, vaksin masih dalam pengembangan. Saat ini ada 2 vaksin yang memasuki uji klinis fase 1 yakni vaksin strain Sabin dan vaksin Janssen.

“Belum ada obat khusus, pengobatan bersifat simtomatik dan suportif, yaitu mengobati komplikasi dan menjaga keseimbangan cairan serta elektrolit,” ucap dr. Syahril.