Tuhan Asli Masyarakat Bali Mula Tanpa Aroma Hindu India

Tuhan Asli Masyarakat Bali Purwa Tanpa Aroma Hindu India
Tuhan Asli Masyarakat Bali Purwa Tanpa Aroma Hindu India (Foto : )
, sementara di Teja Kula, wilayah Buleleng timur dikenal dengan sebutan batu kukuk.Memasuki zaman lebih kemudian, pemujaan kesuburan dihadirkan dalam bentuk Celak Kontong Lugeng Luih. Berupa simbol kemaluan laki-laki dan wanita dalam adegan sanggama – yang dalam penamaan kemudian dihadirkan sebagai simbol lingga yoni, yakni personifikasi Siwa sebagai Mahapencipta.Laporan menarik dilakukan arkeolog lainnya, Purusa Mahaviranata (almarhum) berkaitan dengan ritus kesuburan di Desa Kayu Putih, Buleleng.Dikatakan, di Pura Desa Bale Agung desa setempat terdapat peninggalan berbentuk silinder yang diujungnya digambarkan bentuk kemaluan laki-laki secara naturalis kemudian dimasukkan ke dalam batu berlubang berbentuk lesung.Pelinggih ini mempunyai pemimpin upacara khusus disebut Kabayan. Pelinggih dan simbol batu yang dipuja di tempat ini disebut “Dewa Gede Celak Kontong,” mengingatkan orang pada pemujaan yang sama di Dalem Tamblingan.Palinggih ini sangat penting artinya dalam alam kepercayaan masyarakat, sehingga pada waktu upacara ‘ngusaba’ dan upacara ‘nangluk merana’ diadakan upacara dihadapan palinggih ini dan sebelumnya diadakan ‘mendak tirta’ ke Pura Munduk Luhur yang dianggap oleh masyarakat sebagai tempat memberikan kesuburan.Di Bali selain pemujaan kesuburan lewat penghadiran Dewi Sri, pemujaan pada “tokoh” bernama Men Burayut, dengan atribut payu dara subur, dikerubuti banyak anak juga merupakan citra dari pemujaan kesuburan masyarakat Bali.Demikianlah ketika sistem kepercayaan orang Bali lebih tertata, hari pemujaan kesuburan dimasukkan dalam sistem kalender pawukon, datangnya setiap 210 hari, lazim disebut Tumpek Bubuh, diperuntukkan khusus untuk penghormatan pada tumbuh-tumbuhan.Sementara penghormatan untuk kesuburan binatang peliharaan dilakukan pada hari Tumpek Uye. Dari seni tampak kian jelas, bahwa kategori-kategori Indianisasi pada sejumlah upacara di Bali nyaris tiada berdasar.Justru sebaliknya, dilakukan penyegaran dan penamaan baru. Pemujaan kesuburan memang merupakan tradisi dunia, tidak menunjukkan dominasi kultur pendatang.Upacara-upacara seminal ngusaba nini, bajang colong dalam upacara manusa yadnya, upacara kurban sapi yang lazim disebut jaga-jaga, dan banyak upacara khas Bali harus dirujuk hulunya pada peradaban Bali Mula.Banyaknya temuan gundukan batu pemujaan, menhir, teras berundak, dan bentuk-bentuk pemujaan yang mempergunakan batu, semata menunjukkan peradaban Bali Mula telah memiliki kepercayaan pada kekuatan –kekuatan alam – yang mana dalam peradaban Bali kemudian diterjemahkan sebagai kekuatan-dewa dewa penguasa alam.Maka berkomentarlah Dr Van der Hoop, tokoh terkemuka bidang arkeologis, bahwa banyak pura kuno di Bali tidak bisa ditelusuri asal-usulnya dari candi-candi India, tetapi harus dicari pada tempat-tempat suci atau tempat-tempat pemujaan berbentuk batu, megalitik.Merujuk temuan paling purba di Pura Batu Madeg, Besakih, Made Sutaba membenarkan komentar Van der Hoop, bahwa cikal bakal Pura Batu Madeg adalah pemujaan batu megalitis, batu tegak sebagai simbul pemujaan roh leluhur, karena itu pura itu disebut Batu Madeg, batu tegak.Pura Besakih yang terdiri dari 86 gugusan pura-pura, pada awalnya merupakan pemujaan purba punden berundag-undag, tempat pemujaan roh leluhur.[caption id="attachment_346991" align="alignnone" width="900"]
Tuhan Asli Masyarakat Bali Purwa Tanpa Aroma Hindu India
Pura Besakih di Karangasem, Bali adalah Pura Induk di Bali. Foto: Bali Holiday Service[/caption]Menurut Sutaba, orang Bali Mula sangat memulikan tempat-tempat tinggi, terutama gunung, karena orang Bali Mula sangat percaya, bahwa di gunung yang tinggi itulah roh nenek moyang mereka bersemayam.Barangkali pemujaan pada Ratu Bukit dalam wujud laki-perempuan di teras teratas gugusan Pura Besakih merupakan palinggih tertua, bisa jadi tinggalan paling purba dari peradaban Besakih kini.Kelenturan peradaban Bali Mula menghadapi pengaruh asing ternyata tidak mengikis wajah aslinya. Maka akan keliru mencari rujukkan upacara asli Bali ke sumber-sumber teks India.Upacara semisal saba di Trunyan saba di Tigawasa jelas merujuk pada tradisi lampau, saat Bali belum kena pengaruh Hindu, lebih khusus lagi Hindu Majapahit.Sepanjang sejarah masuknya pengaruh Hindu di Bali memang tidak menunjukkan ada tanda-tanda vandalisme, pemusnahan tradisi asli. Di Bali sebagaimana dikatakan Dr. A.J. Bernet Kempers, masa lampau dan masa sekarang adalah satu, utuh dalam paduan harmoni. “Dan orang Bali dahulu tidaklah lebih buta daripada kita terhadap pengaruh yang meluhurkan jiwanya,” kata Kempers penulis buku Bali Purbakala (1956).Bali, menurut penilaian Kempers, yang kini masih sangat penuh akan kehidupan keagamaan dan kesenian, tentunya di masa lampau menjanjikan gambaran yang sangat menarik ketika cara-cara hidup Indonesia kuno berhadapan dengan kebudayaan Hindu, dan dapatlah sangat baik dibandingkan dengan sejarah kebudayaan Jawa dahulu: hanya tentu saja dengan coraknya sendiri.Untuk pengertian yang lebih baik dari apa yang dapat dinamakan “penghidupan secara Indonesia dengan secara Hindu” dan dari kebudayaan Indonesia pada umumnya, maka pengetahuan tentang Bali Mula ternyata tak dapat diabaikan.Merujuk Bali Majapahit sebagai satu-satunya acuan berpikir dan tentu sama artinya dengan mengelebui peradaban. Dan sejarah tidak membuat orang kian cerdas ketika politik dominasi merajalela.Maka ketika orang bicara tentang peradaban Bali, sudilah menengok kearifan masa silam, di mana manusia Gilimanuk membangun peradaban sendiri – dan budaya agama kealaman kini belum tentu setara dengan pencapaian mereka. Sumber: Buku 'Bali Spirit' karya I Wayan Westa, 2014