Budaya Potong Kerbau dalam Adat Suku Mandailing

Bobby-Kahiyang 1
Bobby-Kahiyang 1 (Foto : )
suhut
kahanggi.H. Pandapotan Nasution, SH, tetua adat Mandailing yang bergelar Patuan Kumala Pandapotan menjelaskan mengenai
Manalpokkon lahanan/ pulungan ni horja. Menurutnya ada tiga tingkatan kurban yang bisa disesuaikan dengan tingkat besar atau kecilnya pesta hajat yang akan digelar.“Apabila suhut atau empunya hajat tidak mengadakan pesta secara besar-besaran, maka dia bisa mengurbankan seekor ayam. Hewan kambing bisa dipilih untuk memenuhi syarat kurban pesta kelas menengah, sedangkan pesta besar mensyaratkan kurban minimal seekor kerbau. Dalam hal jumlah hewan yang akan dikurbankan pun, hukum adat Mandailing hanya mensyaratkan seekor hewan, tetapi jika suhut mampu mengurbankan lebih pun tak jadi soal,” ujar H. Pandapotan Nasution, SH.Masyarakat Mandailing dikenal tidak suka memamerkan diri sehingga ketika seseorang akan mengurbankan kerbau maka akan memberitahukan peserta upacara adat bahwa ia akan mengurbankan “anak ayam.” Padahal penyebutan ini justru menandakan pesta adat yang akan digelar akan berlangsung secara besar-besaran. Penggunaan kerbau sebagai hewan kurban bukan tanpa alasan. Kerbau sudah digunakan sebagai hewan kurban sejak dahulu kala oleh masyarakat suku Mandailing, sedangkan sebagai alat transportasi, kerbau dimanfaatkan mengangkut hasil-hasil pertanian.Menurut perkiraan sebelum masuknya pengaruh Hindu-Buddha (abad ke- XI – XIV M), kegiatan pertanian sudah dilaksanakan masyarakat. Kemudian dengan masuknya teknologi (bajak), pertanian pun kian berkembang. Kemungkinan adanya perkembangan teknologi pertanian terbukti dengan adanya tradisi pengolahan lahan tanpa menggunakan bajak pada sebagian masyarakat Batak, serta pemanfaatan peralatan lebih sederhana yang digerakkan manusia, seperti tenggala roda dan sisir kayu.Tradisi pengolahan lahan tanpa menggunakan bajak masih dilakukan hingga kini oleh sebagian masyarakat di Barus dan Tapanuli Selatan, yaitu dengan menggiring kerbau (sekitar 8-12 ekor) berkeliling pada lahan sawah secara berulang-ulang. Banyaknya kerbau yang digunakan menggambarkan besarnya populasi kerbau yang diternakkan oleh satu keluarga inti di sana.Bagi masyarakat yang masih hidup dengan tradisi megalitik seperti Toraja, Mandailing, Sumba, Dayak Ngaju, dan Batak, kerbau merupakan hewan yang sering dikurbankan pada upacara-upacara adat seperti upacara kematian ( rambu solo’, marapu, tiwah, saur matua dan mangokal holi ), atau pembangunan rumah adat. Banyaknya kerbau yang disembelih pada suatu upacara adat, menggambarkan kemampuan keluarga atau tingginya status sosial seseorang di masyarakat. Hal itu tergambar secara simbolis pada banyaknya tanduk kerbau yang dipajang pada rumah adat.  Kerbau, bagian penting upacara adat Mandailing