Segmen Terakhir Ihsan Salam

ihsan abdul salam
ihsan abdul salam (Foto : )

“ San…. bangkitlah ! tinggalkan ranjang rumah sakit itu. Sudahi deritamu. Larilah ke meja redaksi. Kertas kerja menunggumu. Segera susun plot untuk episode Jejak Kriminal edisi Selasa “  

Batinku menjerit selama tiga pekan terakhir, sejak pertengahan Juni lalu. Saya tunggu rekan Ihsan Salam di meja redaksi untuk menyelesaikan tugas rutinnya, menyusun plot cerita untuk salah satu episode program Jejak Kriminal ( JK ) edisi Selasa.

Saya dan Ihsan, selaku produser program Jejak Kriminal secara bergantian mengisi episode Selasa sejak dua tahun lalu. Sebulan, dua kali kami bergantian menggarapnya.

Biasanya, segmen pertama sesak dengan cerita yang mengaduk – aduk emosi. Tegang. Hot Scene hadir. Ujungnya, klimaks cerita. Kita sama – sama tahu resepnya, San. Dan saya masih menunggu itu….

Tapi nyatanya segmen pertama itu sudah kau tulis dan kau lakoni sendiri di ranjang rumah sakit. Sisanya, kabar tentang dirimu pada Selasa pagi, 6 Juli 2021 ini. Di tengah kepungan alat medis, kau tuntaskan  segmen kedua itu pada pukul 03.00.

Innaliillahi wa innalillahi rojiun …  

Ihsan Abdul Salam pergi untuk selamanya …   

Tahun 2005, Ihsan Salam masuk redaksi ANTV. Sejak itu, ia keluar masuk di sejumlah program. Lelaki kelahiran 3 September 1971 ini tak pernah tampil mencolok.

Busananya biasa saja. Ia gampang berbagi. Contoh, sering ia bawa camilan apa saja di meja kerjanya. Ia buka camilan sambil menawarkan kepada sejumlah rekan.

Selain sebagai wartawan, Ihsan Salam adalah seorang penyair. Barangkali tak banyak rekan yang tahu. Ihsan memang tak pernah meramaikan dirinya sebagai penyair. Dua buku kumpulan sajaknya terbit tahun 2010. Judulnya, ‘ Seikat Kata yang Beku ‘  dan ‘ Hujan Kenangan ‘ 

Dalam kumpulan sajak ‘ Hujan Kenangan ‘,  Ihsan menulis 99 sajak pendeknya. Pergulatan batin Ihsan tumpah dan tersebar di sajak – sajak itu.

Sajak 6 

hujan menangis di dalam kaca / meninggalkan siksa yang tak henti – hentinya bertanya – tanya / ke manakah muara air mata yang tumpah / 

 hujan berduka di dalam kaca/ menyisakan luka yang tak henti menetes – netes / siapakah yang akan mengobati gerimis yang patah/ 

 Baiklah, San. Kalau ‘ hujan ‘ itu adalah metafora dirimu, maka tak ada lagi siksa. Air mata sudah menemukan muaranya. Luka sudah berhenti. Gerimis tak lagi patah karena sudah terobati.

Selamat jalan San ….

Tenanglah di sana ….

......

Kematian hanya selaput 

gagasan yang gampang diseberangi 

Tak ada yang hilang dalam 

perpisahan, semua 

pulih 

juga angan-angan dan selera 

keisengan - 

Di ujung musim 

dinding batas bertumbangan 

dan 

kematian makin akrab. 

 Begitu potongan puisi ‘ Dan Kematian Makin Akrab ‘  yang ditulis Subagyo Sastrowardoyo

Oleh: Yosi Mahalawan, Jakarta, Selasa 6 Juli 2021.

*Aku tulis sebagai penghormatan terakhir pada sahabatku