Polri: Akui Ada Kerawanan di Pilkada 2020, tapi Optimistis Sukses

Argo
Argo (Foto : )
Kadiv Humas Polri, Irjen Pol Prabowo Argo Yuwono berharap di sisa waktu yang ada bisa dieliminir potensi kerawanan penyelenggaraan pilkada serentak 2020.
Argo menyampaikan optimisme dan pesimisme jangan dihadap-hadapkan tetapi harus disinergikan untuk mencapai tujuan bersama.Polri optimistis Pilkada serentak pada 9 Desember 2020 akan sukses. Meskipun ada kerawanan-kerawanan yang menyangkut penyelenggaraan hingga pandemi COVID-19."Polri optimistis pilkada serentak yang digelar di 270 daerah pemilihan akan sukses," kata Kadiv Humas Polri, Irjen Pol Prabowo Argo Yuwono, saat membuka sebuah webinar di Hotel Grand Dhika, Jakarta, seperti dikutip dari laman Viva, Selasa (17/11/2020).Mengenai potensi kerawanan, Argo mengatakan, berbeda di masing-masing daerah. Karena itu, pendekatan antara satu daerah dan lainnya berbeda."Kita tidak bisa menggunakan pendekatan yang sama di antara masing-masing daerah," jelas Argo.Sementara itu, Wakil Ketua DPR, Azis Syamsudin, mengatakan, Komisi Pemilihan Umum (KPU) sudah melakukan rapat dengan Komisi II DPR untuk mengatasi kerawanan-kerawanan. Selain itu, lanjutnya, di awal tahun, DPR telah melakukan rapat dengan menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan untuk mencegah kerawanan-kerawanan.Azis berharap penyelenggaraan pilkada serentak tidak sekadar sukses memilih figur tetapi juga meningkatkan kualitas demokrasi."Pada akhirnya sukses penyelenggaraan pilkada juga harus dilihat bisa meningkatkan kesejahteraan masyarakat," papar Azis.Dalam diskusi tersebut, Direktur Eksekutif Lembaga Survei Indonesia (LSI), Djayadi Hanan, mengingatkan sejumlah potensi kerawanan pilkada serentak 2020. Pertama, berdasarkan hasil survei Oktober 2020 sebanyak 40 persen responden menyatakan tidak akan hadir di tempat pemungutan suara (TPS) akibat pandemi Covid-19."Ini jumlah yang besar mengingat partisipasi pilkada tidak lebih 76 persen," ucap Djayadi.Selain itu, pandemi Covid-19 telah meningkatkan jumlah pengangguran dan orang miskin. Dua kondisi itu, kata Djayadi, berpotensi maraknya terjadinya money politics terutama di tahapan akhir jelang pelaksanaan pilkada.