HUT Kelompok Usaha Bakrie ke-78, H. Achmad Bakrie Sosok Human Interest

HUT Kelompok Usaha Bakrie ke-78, H. Achmad Bakrie Sosok Human Interest
HUT Kelompok Usaha Bakrie ke-78, H. Achmad Bakrie Sosok Human Interest (Foto : )
B.S Kusmuljono dan Roosmania Bakrie Kusmuljono[/caption]Masih berkisar hubungan orang tua dengan anak, tapi ini kisah sejati, ketika ayahandanya sakit. Dalam keadaan sakit dan uzur, ia menuntun sang ayah ke kamar kecil, dan maaf, ia membasuh kemaluan ayahandanya dengan kasih sayang dan takzim, sehingga bersih untuk berwuduk.
"Padahal bang Bakrie sudah menjadi saudagar kaya, dan pembantu khusus pun ada,”
ungkap Rusli Hasan yang ikut menyaksikannya.Sepupu H. Achmad Bakrie ini juga menceritakan, tatkala ibunda H. Achmad Bakrie, Hj. Cholidjah sakit keras pada tahun 1965, H. Achmad Bakrie berada di Nagasaki, Jepang.[caption id="attachment_292769" align="aligncenter" width="900"] Tiga generasi. H. Oesman Batin Timbangan (ayah) Memegang Tongkat Berkopiah. H. Achmad Bakrie nomor 3 dari kiri belakang. Ir. H. Aburizal Bakrie duduk di pangkuan ibundanya, Hj. Roosniah Bakrie (Foto Rumah Pusaka, Lampung) Tiga generasi. H. Oesman Batin Timbangan (ayah) Memegang Tongkat Berkopiah. H. Achmad Bakrie nomor 3 dari kiri belakang. Ir. H. Aburizal Bakrie duduk di pangkuan ibundanya, Hj. Roosniah Bakrie (Foto Rumah Pusaka, Lampung)[/caption]Mendengar berita itu H. Achmad Bakrie langsung meninggalkan urusan bisnisnya, terbang ke Jakarta dan sesampainya di Jakarta, tanpa singgah di Simpruk rumahnya, langsung menuju Jalan Selamet Riyadi di mana ibunya tinggal bersama Abuyamin.Di rumah abangnya ini, ia dekati ibundanya dan memeluknya erat-erat. Padahal usianya sudah sekitar setengah abad waktu itu.Kerabat famili di Kalianda menuturkan, setiap mengunjungi tempat kelahirannya itu, H. Achmad Bakrie mengumpulkan sanak saudara dan kerap menceritakan masa kecilnya.Tersebutlah, penjual bubur bernama Madisah. la sering makan bubur tanpa membayar alias, “nembak.” Entah bagaimana rupanya, seperti menyadari kenakalannya, setelah sukses menjadi pengusaha, dibayarnya semua “hutang-hutangnya” itu.Penjual bubur yang waktu itu masih hidup hanya bisa terbengong-bengong saja menerima “piutang” itu.Ada lagi, seorang teman sering menangis setiap kali diganggunya. Belakangan orang itu ditemuinya lagi, sudah tua sama tua. Lalu, temannya itu menangis lagi. Apa pasal, rupanya teman sekolahnya itu terharu menerima “tebusan” maaf dengan sebuah jas. "Tak pernah ada yang berubah sifat bang Bakrie itu,” papar Masfalah dan Masani, dua saudara sepupu dari garis ibunda H. Achmad Bakrie.Adalah Chaizir putra Masfalah yang kini merawat rumah tempat kelahiran H. Achmad Bakrie merasa bersalah, karena pendidikan yang disokong pamannya itu tak terselesaikan dengan baik.Suatu kali, lelaki yang masih keturunan Pahlawan Nasional Raden Intan ini berkunjung ke rumah H. Achmad Bakrie di Simpruk. la terkesan sekali melihat permainan mobil-mobilan yang jarang ia lihat di mana-mana.Hasrat hendak menaikinya cukup besar, tetapi ia takut kalau-kalau tak diizinkan. "