Politik Uang Diperkirakan Makin Marak di Pemilu 2019

Bhakti Sosial Alumni UGM Pendukung Jokowi-Ma'ruf Jual Sembako Murah, Politik Uang?
Bhakti Sosial Alumni UGM Pendukung Jokowi-Ma'ruf Jual Sembako Murah, Politik Uang? (Foto : )
Tahun 2014, sebanyak 33 persen masyarakat mengaku menerima politik uang. Indonesia menempati peringkat ke-3 di dunia dalam praktik politik uang.
newsplus.antvklik.com- Direktur Eksekutif Sindikasi Pemilu dan Demokrasi (SPD), August Mellaz menyebutkan politik uang di Pemilu 2019 berpotensi mengalami peningkatan dari pemilihan umum pada 2014 silam.Hal ini didasarkan beberapa hal di antaranya karena sistem dan mekanikal pemilu tidak berubah dari 2014. Artinya, sisi personal atau orientasi kompetisi pemilu masih berbasis calon legislatif dibandingkan partai politik."Selain itu orientasi kompetisi pemilihan legislatif 2019 tetap berbasis pada sisi popularitas dan personalitas calon legislatif," katanya dalam Kemendagri Media Forum (KMF) yang digelar pada Jumat (8/02/2019) di Press Room Gedung A Kementerian Dalam Negeri, Jakarta Pusat.Alasan lain, untuk bisa terpilih, maka setiap calon legislatif tetap akan berupaya meningkatkan popularitasnya, meningkatkan aktivitas kampanye, dan secara personal membiayainya.Sementara Direktur Eksekutif Indikator, Burhanuddin Muhtadi mendefinisikan politik uang sebagai transaksi antara politisi atau parpol dengan pemilih.Ia pun mengaku pesimis Pemilu 2019 tidak dinodai dengan politik uang. Pasalnya, berdasarkan hasil penelitan pada tahun 2014, sebanyak 33 persen masyarakat mengaku menerima politik uang. Bahkan Indonesia menempati peringkat ke-3 di dunia dalam praktik politik uang.[caption id="attachment_194841" align="alignnone" width="300"]
Kemendagri Media Forum (KMF)[/caption]“Tahun 2014, saya melakukan penelitian dengan berbagai metode pertanyaan pada responden, didapat bahwa sebanyak 33 persen masyarakat mengaku menerima praktik politik uang, artinya, 1 : 3 masyarakat menerima politik uang. Bahkan yang lebih menyedihkan, Indonesia menempati peringkat terbesar ke-3 dalam praktik politik uang di dunia,” papar Burhanuddin.Burhanuddin Muhtadi juga melihat kemungkinan politik uang akan menjadi hal yang masih akan ditemui pada Pemilu 2019. Pasalnya, aktor calon legislatif bertambah signifikan karena penambahan daerah pemilihan (Dapil) dan kursi di DPR maupun beberapa kursi di DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota “Pertarungan antara calon legislatif di Pileg 2019 akan lebih banyak aktor (Caleg) dari 2014 karena Dapil dan kursi nambah, sementara media massa dan masyarakat lebih fokus pada pilpres sehingga caleg di lapangan akan lebih leluasa tanpa pengawasan,” ungkap Burhanuddin.Menanggapi keduanya, Kapuspen Kemendagri, Bahtiar menyebut lapangan pertarungan caleg akan lebih terbuka luas dengan pileg yang digabungkan pelaksanaannya dengan pilpres. “Ruang-ruang bibit politik uang sebagai racun demokrasi makin terbuka lebar dengan situasi sekarang ini. Apalagi kita melihat tawaran gagasan para kandidat di lapangan relatif kurang terungkap kepada pemilih apa yg menjadi ciri pembeda masing-masing caleg dan sulit dibedakan perbedaan tawaran gagasan masing-masing caleg karena isunya fokus pada Pilpres,” ucap Bahtiar.Meskipun demikian, Bahtiar meminta semua pihak optimistis untuk bersama membasmi bibit racun demokrasi yang berupa politik uang ini agar tidak merusak kualitas demokrasi di Indonesia. "Kita harus memiliki sensitivitas untuk mengungkap cara-cara baru penerapan politik uang. Yang penting terhadap temuan para peneliti ini, bahwa kita siuman (sadar) bahwa ada keadaan yang memungkinkan adanya politik uang dan peluang adanya potensi kemungkinan peningkatan politik uang. Kualitas demokrasi kita jangan sampai menurun akibat ancaman money politics ,” pungkasnya.