Koalisi Tukang Bendera dan Satpam

koalisi tukang bendera dan satpam
koalisi tukang bendera dan satpam (Foto : )
“Benderaaa…!” “Tiang benderaaa…!” Sembari mendorong gerobak, terus-terusan dengan jeda yang rapi, si tukang bendera merah putih berteriak menjaja. Berkali-kali. Lantang. Sudah dua pekan belakangan, ia melewati rumah saya di pojokan Tangerang Selatan, Banten. Dan yang mengagumkan, kedatangannya selalu sebelum jam tujuh pagi. Diam-diam saya terpukau dengan etos kerjanya. Semangatnya yang hebat. Di puncak siang ini, saya kebetulan melihat gerobaknya mangkrak di depan sebuah sekolah. Di dekatnya, si lelaki muda penjual bendera sedang duduk mencangkung di bangku panjang pos hansip. Saya temui dia. Dan sejurus kemudian, kami sudah seperti kawan lama. Obrolan yang spontan terbangun ditingkahi gelak yang kerap. Karib. Namanya Karyadi. Umurnya akan 30 tahun. Perawakannya ceking. Datang dari Cirebon, Jawa Barat. Sudah lima tahun terakhir Karyadi melakoni kerja musiman menjaja bendera. Di gerobaknya, bendera merah putih rupa-rupa ukuran melambai-lambai ditiup angin. Satu rumpun tiang bambu, rapi ditalikan. Tiang berwarna juga merah putih berselang-seling. “Lagi istirahat?” saya buka obrolan. “Iya. Sekalian nunggu kepala sekolah yang katanya mau beli bendera lagi,” sembari telunjuknya menuding ke sekolah di depan kami. “Kemarin dia beli sepuluh pasang bendera yang umbul-umbul sama tiang bambunya. Dan untuk jual ke sekolah, saya kasih harga murah. Dari setiap pasangnya saya ambil untung cuma empat ribu rupiah aja,” tambah Karyadi. “Memangnya kalo pembeli di komplek perumahan, berapa untung minimal yang dipatok?” “Paling nggak ya lima belas sampai dua puluh ribu,” “Kok kalo jual ke sekolah kasih murah?” saya tanya penasaran. “Karena saya hormat sama pendidikan…” Jlebb…! jawaban dengan kalimat lugu yang sungguh bikin saya terpesona. Kearifan seorang Karyadi yang belakangan mengaku tak lulus SD lantaran orang tuanya tak mampu membelikannya seragam pramuka. Dan tersebab itu Karyadi kecil dulu jadi minder di sekolah. Ogah sekolah. “Kalo di komplek perumahan banyak yang beli bendera, Kang?” “Rejeki sih ada aja. Ada ibu-ibu yang kasih lebih dari harga jadi. Dia bilang kasian liat saya yang kucel
keringetan
dorong gerobak katanya.. he he he. Tapi ada juga ibu-ibu komplek yang nawarnya kebangetan. Harga modalnya aja nggak dapet… tapi nggak mau naikin tawaran. Padahal saya liat mobilnya bagus.” “Keliling dari jam berapa sampai jam berapa, Kang?” “Pokoknya dari gelap ketemu gelap lagi. Berangkat setengah lima, pulang abis maghrib,” imbuhnya. “Soalnya kalo pagi-pagi itu harus nyeberangin rel kereta yang macetnya ampun-ampunan. Saya pernah satu jam kena macet di situ.” Dari jawabannya saya mafhum kenapa Karyadi sudah lewat di depan rumah saya ketika jarum jam belum lagi genap menunjuk angka tujuh. Pagi. “Apalagi 17 Agustus tinggal 3 hari lagi. Jual bendera cuma bisa sampe 16 Agustus. Pernah coba tetepjualan pas tanggal 17 Agustus. Yang beli cuma satu orang waktu lewat tempat perlombaan anak-anak. Itu juga bendera plastik yang kecil. Dapet capeknya aja…” “Masuk komplek perumahan yang ada satpamnya di gerbang, boleh Kang?” “Malah gampang. Satpamnya bukan cuma ngasih ijin. Malah bilang ke saya supaya teriaknya yang keras waktu keliling,” ujar Karyadi. “Kenapa bisa gitu?” “Supaya semua warga komplek pasang bendera. Kan Ketua RT nggak bikin surat edaran. Terus, banyak yang belum pasang.” Kalimat tambahannya menarik buat saya. “Tapi saya dipesenin satpam supaya jangan bilang kalo satpam yang nyuruh teriak kenceng..he hehe.” Jalan ceritanya jadi terang. Satpam pasti rikuh untuk menegur warga cluster yang belum pasang bendera merah putih. Dan satpam kemudian membonceng tukang bendera seperti Karyadi untuk mengingatkan warga. Akan halnya Karyadi, dia juga menangguk untung boleh keliling. Siapa tahu rezeki mampir bukan? Orang jelata seperti satpam dan tukang bendera punya jagat politiknya sendiri. Sebentuk koalisi yang terbangun tanpa lewat jalan rumit berliku. Satpam dan tukang bendera, tanpa ribut-ribut sudah bikin koalisi ala mereka. Saling menguntungkan. Simbiosis mutualisme. Kontras dengan para elite politik yang tempo hari begitu ingar-bingar saat membangun koalisi capres/cawapres. Koalisi elite kemarin, menyisakan orang yang kecewa atau memendam sakit hati gegara di-PHP tak dipilih di masa injury time. Karyadi bilang akan pulang kampung ke Cirebon pada tanggal 16 Agustus malam. Hitungan kasarnya, dia bisa bawa pulang hampir tiga juta rupiah. Karyadi sudah meninggalkan istri dan bocah lelaki 4 tahunnya sedari akhir bulan Juli lalu. Perjuangan demi keluarga. Pola yang sama akan dilakoninya tahun depan. Lagi, menjaja bendera merah putih. Sekadar tanya, anda sudah pasang bendera? Jika belum, bersegeralah. Memasang bendera merah putih juga bentuk penghormatan kita kepada negeri tercinta. Sekalian bagi-bagi rezeki buat Karyadi dan sejawatnya. Jangan sampai keduluan orang lain meminjamkan benderanya kepada kita. Dan celakanya, dia orang Polandia yang kebetulan warna benderanya sama. Hanya posisi warna yang terbalik. Ahhh…, jadi ingat cerita satire Lalu Mohammad Zohri di Finlandia tempo hari…