Ketika Kita Sulit Memisahkan Politik dan Olahraga

Ketika Kita Sulit Memisahkan Politik dan Olahraga
Ketika Kita Sulit Memisahkan Politik dan Olahraga (Foto : M Nigara - Wartawan Senior Sepakbola)

Oleh:

M. Nigara
Wartawan Senior Sepakbola

Antv – JAUH sebelum FIFA akhirnya menunjuk Indonesia sebagai tuan rumah Piala Dunia U20 (dulu dikenal Piala Dunia Yunior Cocacola. Bambang Nurdiansyah dkk, beruntung bisa tampil di Tokyo, 1979 menggantikan Irak dan Korut, yang menolak tampil karena politik), suasana seperti saat ini sudah saya duga akan terjadi.

Timnas Israel U20, boleh dibilang lumayan baik. Jadi, ketika mereka bisa lolos, semua persoalan dan resikonya akan tumpah ke pemerintah kita.

Ini sedikit catatan timnas Israel muda: Timnas Israel U-19 pernah mengukir prestasi pada Kejuaraan AFC U-19 selama 4 tahun berturut-turut, yakni mulai 1964 hingga 1967. Selanjutnya, Israel menjadi runner-up Kejuaraan Dunia Remaja FIFA 1990, Kejuaraan OFC U-20 1985 dan 1986. (tempo.co)

BK Menolak

MUI, sederet Ormas keagamaan, jauh-jauh hari juga sudah mengingatkan bahwa mereka tidak akan diam jika Israel tampil di putaran final U20. Dan yang mengejutkan, PDIP, partai pemenang pemilu, secara tegas ikut menolak.

Konkritnya, Gubernur Bali, I Wayan Koster membuat surat resmi menolak Israel jika di taruh di wilayahnya.

Langkah ini tidak berdiri sendiri. Seperti diturunkan  Sport.detik.com: Indonesia yang tergabung di Sub-Grup 1 bersama Republik Rakyat China dan Taiwan lolos ke babak selanjutnya.

Di fase tersebut Timnas asuhan pelatih Toni Pogacnik hanya bertemu RRC, lantaran Taiwan memutuskan mundur.

Indonesia menghadapi China tiga kali di bulan Mei-Juni 1957. Timnas menang 2-0 di Jakarta, tumbang 3-4 di Beijing, serta imbang 0-0 dalam laga yang berlangsung di Myanmar. Maulwi Saelan dkk lolos berkat jumlah produktivitas gol.

Pada putaran kedua kualifikasi, Indonesia tergabung dengan Sudan, Mesir dan Israel. Di fase ini lah, langkah Skuad Garuda terganjal akibat sikap politik negara.

Padahal, Saelan dkk, diprediksi mampu lolos ke Swedia. Saya meyakini, tim ini adalah tim terbaik yang kita miliki sepanjang masa.

Bung Karno tidak berhenti di situ. Saat menjadi tuan rumah Asian Games ke-4, di Jakarta 1962, Israel juga tidak diundang. Bahkan, ketika IOC marah, BK justru membentuk Ganefo.

Sesuai UUD 1945

Mengapa Bung Karno begitu keras dan berani. Pertama, Alinea pertama Pembukaan  UUD 1945 berbunyi, “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.”

Kedua, BK juga membutuhkan dukungan yang solid dari 14 negara tetangga Palestina terkait Irian Barat.

Dan, Indonesia termasuk negara terdepan yang membantu Palestina agar dapat menjadi negara yang merdeka dan berdaulat dengan memberikan dukungan di berbagai forum internasional baik dalam level bilateral, regional hingga multilateral.

Sementara ormas keagamaan membela Palestina juga dengan alasan yang serupa. Bukan juga semata-mata lantaran mayoritas agamanya sama, tapi lebih sikap dan kekejaman Israel yang begitu rupa.

FIFA Berpolitik

Jika kita mengacu pada otorisasi sepakbola yang dipegang FIFA, kita sama sekali tidak punya celah untuk menolak Israel. Toh sejak awal, kita tahu kemungkinan Israel akan lolos dan pasti menimbulkan bencana seperti ini.

Tapi, jika kita telaah lebih dalam, FIFA sendiri telah memainkan politik ganda. Tengok saja sikap FIFA pada Rusia. Karena menyerang Ukraina, FIFA menghukumnya sangat berat.

Akibat keputusan FIFA-UEFA, timnas Rusia tak bisa menjalani laga playoff Piala Dunia 2022 dan absen di Qatar. Klub Rusia Spartak Moskow juga dicoret dari babak 16 besar Liga Eropa.

Lalu, akankah FIFA menjatuhkan sangsi pada Indonesia seandainya penolakan PDIP dan ormas, serta ormas keagamaan makin kuat? Semua berpulang dengan Erick Thohir, Ketum PSSI berdiplomasi.

Kita tahu persahabatan Erick dengan Gianni Infantino, Presiden FIFA begitu lekat. Erick mampu memboyong Infantino bertemu Jokowi sebagai Presiden RI. Sepanjang sejarah, belum pernah ada Presiden FIFA yang mau mendatangi presiden satu negara.
Sebagai pimpinan organisasi antar negara yang jumlah anggotanya lebih banyak dari PBB. FIFA 209 negara dan PBB 193 plus  2 negara sebagai pengamat, Vatikan dan Palestina, FIFA terkesan angkuh. Tapi tidak di tangan Infantino.

Harapan

Sebagai wartawan sepakbola senior, saya berharap, meski sulit, memisahkan olahraga dengan politik praktis.

Kita lupakan saja perlakuan FIFA atas Rusia dan bagaimana upaya FIFA membela Israel. Apa pun yang akan terjadi pada Israel,  Piala Dunia U20 tetap digelar di sini.

IOC sudah melakukan langkah luar biasa saat Olimpiade Tokyo, 2020 lalu. Karena Rusia dihukum lantaran invasinya ke Ukraina, maka negara itu dilarang tampil. IOC telah mempertontonkan kepada kita bahwa olahraga dan politik tidak boleh dicampur-adukan. Rusia sebagai negara dilarang, tapi atletnya tidak.

Maka muncullah bendera NOC Rusia. Si atlet tetap boleh berlaga, tetapi embelem negara: Bendera dan lagu kebangsaannya dilarang. Pemerintah Rusia pun luar biasa menyambutnya. Para atlet bukan hanya diizinkan bahkan tetap dibiayai untuk berlaga di Tokyo.

Nah, jika FIFA dan kita semua sungguh ingin melepaskan olahraga terbebas dari politik praktis, mungkin itu jalan terbaik. Apalagi duta besar Palestina di Jakarta juga tidak masalah sepanjang pandangan politik Indonesia pada Palestina tidak berubah.

Presiden Jokowi sudah menegaskan komitmen Indonesia untuk terus mendukung perjuangan Palestina dalam meraih kemerdekaan.

Hal tersebut disampaikan Jokowi dalam keterangan pers bersama Mohammad I.M. Shatayyeh, Perdana Menteri Palestina, di Istana Bogor, Jawa Barat (24/10/2022).

Jadi, meski tetap khawatir dan tentu tidak mudah, kita harys tetap optimis.
Du satu sisi, kita juga harus menghargai mereka yang berpegang pada UUD 1945 untuk menolak. Kita pun harus menghargai mereka yang tak ingin mencampuradukan olahraga dan politik.

In syaa Allah jalan keluar akan selalu ada.