In Memoriam Pele, The Truly Greatest of All Time

In Memoriam Pele, The Truly Greatest of All Time
In Memoriam Pele, The Truly Greatest of All Time (Foto : Kolase Tangkap layar)

Antv – Legenda sepakbola asal Brazil, Pele, meninggal dunia dalam usia 82 tahun di Rumah Sakit Albert Einstein, Sao Paulo, Brasil, Kamis (29/12/2022) atau Jumat dini hari WIB.

Lahir dengan nama Edson Arantes do Nascimento, pada Oktober 1940, pemain terhebat sepanjang masa atau Greatest of All Time (GOAT) itu memainkan pertandingan pertamanya untuk Santos saat berusia 15 tahun pada 1956.

Setahun kemudian dia dipanggil bergabung dengan timnas Brazil dan membuat gol debutnya bersama timnas kala melawan Argentina. Pada 1958 dia masuk skuad Piala Dunia Swedia.

Seperti dikutip dari Antara, keikutsertaan Pele dalam putaran final Piala Dunia edisi 1958 itu menjadi bahan perdebatan sengit di Brazil.

Banyak pihak mempertanyakan apakah sudah pantas remaja ramping itu memanggul beban berat dari turnamen terbesar sejagat itu.

Kritik itu hampir terbuktikan manakala dia cedera lutut begitu tiba di Swedia yang memaksanya absen dalam dua pertandingan pertama Brazil dalam Piala Dunia 1958 itu.

Pele hampir absen dari pertandingan ketiga Brazil melawan Uni Soviet, seandainya pelatih Vicente Feola termakan saran psikolog tim yang menyatakan Pele masih "kekanak-kanakan" dan tidak layak dimainkan dalam arena setinggi itu.

Sebaliknya Feola melawan hati kecilnya dengan memainkan si anak muda yang kemudian membayar tuntas kepercayaannya.

Bekerja bersama-sama dengan Garrincha, Pele mempersembahkan penampilan yang memukau nan menyihir kala Soviet takluk 0-2 kepada Brazil.

Setelah itu Pele tak tertahankan. Dia kemudian menciptakan gol kemenangan dalam perempat final saat melawan Wales, kemudian hattrick ketika membantai Prancis 5-2 dalam semifinal, lalu mengukir dua gol dalam final melawan Swedia.

Saat itu usianya baru 17 tahun. Pele pun menjadi pesepak bola termuda yang menjuarai Piala Dunia.

Namun, dua turnamen berikutnya menjadi pengalaman tidak menyenangkan bagi dia.

Berumur 21 tahun kala Piala Dunia 1962 di Chile, Pele terlihat lebih matang dan lebih kuat, sehingga Brazil diyakini akan dengan mudah merengkuh trofi.

Dan memang dia kembali memukau semua orang ketika gol dari aksi individualnya menggetarkan gawang Meksiko untuk memenangkan Brazil 2-0 dalam partai pembuka.

Namun pada pertandingan kedua dia cedera parah kala dilawan Ceko yang membuatnya absen sampai turnamen selesai ketika rekan-rekan senegaranya berhasil mempertahankan gelar juara dunia.

Namun kekecewaan Pele karena cedera yang membatasi penampilannya di Chile tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan kekecewaan yang dia alami di Inggris pada 1966 yang tanpa perlindungan wasit, dia habis-habisan dikasari pemain-pemain lawan sampai terpaksa tak melanjutkan kiprahnya.

Dia dikasari secara brutal oleh tim pertahanan Bulgaria pada laga pertama hingga terpaksa absen dalam pertandingan kedua.

Penderitaannya mencapai puncaknya saat melawan Portugal dalam laga berikutnya. Dua ganjalan keras Joao Morais membuat Pele menangis untuk dibawa keluar meninggalkan Goodison Park di Liverpool.

Pele bahkan sempat bersumpah tidak akan pernah bermain lagi dalam Piala Dunia.

"Saya tidak mau mengakhiri hidup saya sebagai orang cacat," kata Pele kala itu.

Syukurlah, sumpah Pele itu tak terlaksana. Empat tahun kemudian dia bermain lagi dalam Piala Dunia Meksiko untuk memimpin apa yang dianggap sebagai tim terhebat sepanjang masa.

Kalau Piala Dunia 1966 dianggap sebagai kemenangan untuk sinisme, maka Piala Dunia 1970 dianggap sebagai sumbangsih terbesar Pele untuk Brazil, yang membuat Brazil sinonim dengan permainan yang indah.

Turnamen 1970 menjadi pembuktian untuk kualitas tinggi permainan Pele. Dia dikenang karena gol-gol yang indah walau tidak sebanyak sebelum itu.

Sebuah gol yang didahului lob indah yang mengecoh kiper Cekoslowakia dari hampir separuh lapangan dan gol ajaib kala melawan Uruguay dalam semifinal adalah salah satu momen terbaik dalam sejarah Piala Dunia.

Kemudian, meskipun dia terus bermain pada tingkat klub bersama Santos yang sangat dia cintai dan kemudian New York Cosmos, Pele pensiun dari tim nasional pada 1971.

Tahun itu dia membuat perpisahan emosional di depan 180.000 suporter Brazil di Stadion Maracana yang sakral di Rio de Janeiro.

"Pele pemain terlengkap yang pernah saya lihat," kenang legenda Inggris, Bobby Moore, seperti dikutip AFP.

"Dia memiliki segalanya," tambah Bobby Moore.

Setelah aksi dan perjalanan heroik nan indahnya dalam turnamen-turnamen Piala Dunia selesai, Pele, Si Raja atau "O Rei" dan menyelesaikan 91 cap bersama timnas, turut merevolusi sepak bola Amerika Serikat sampai seperti dikenal sekarang.

Pada 1977, dia memimpin New York meraih gelar nasional pada musim terakhirnya bersama klub itu yang juga diperkuat legenda-legenda lain seperti Franz Beckenbauer, striker Italia Giorgio Chinaglia dan mantan kapten Brazil Carlos Alberto.

Dia muncul dalam film produksi tahun 1981 berjudul "Escape to Victory" tentang tawanan perang Sekutu selama Perang Dunia II bersama dengan aktor-aktor kesohor seperti Michael Caine dan Sylvester Stallone.

Antara 1995 dan 1998, dia bahkan menjadi Menteri Olahraga Luar Biasa Brasil, selain kerap tampil di depan umum sebagai duta berbagai merek komersial.

Namun di masa tuanya dia menderita serangkaian masalah kesehatan, lalu menjalani operasi pinggul, batu ginjal dan tumor usus besar.

Tetapi serangkaian penyakitnya itu tak pernah membunuh semangatnya. Dia tetap aktif memperhatikan sepak bola, sampai menyemangati Neymar, bahkan Lionel Messi dan Kylian Mbappe, dalam Piala Dunia 2022.

Ketiga megabintang ini mengaku Pele sebagai inspirasi mereka dan dunia, sebagaimana hampir semua pesepakbola di jagat ini, juga atlet-atlet dari disiplin-disiplin lain.

Menikah untuk ketiga kalinya pada 2016 bersama Marcia Aoki tak memupus kecintaannya kepada sepak bola yang membuatnya sedikit dari segelintir atlet yang konsisten apolitik di tengah kebesarannya.

Bersama dedikasi dan pencapaian-pencapaian hebatnya serta kesenimanannya di lapangan hijau membuat Pele dikenang sebagai yang terbesar.

Perlu 20 tahun kemudian untuk Diego Maradona masuk perdebatan "terhebat sepanjang masa" atau Greatest of All Time (GOAT).

Dan setelah itu butuh 25 tahun lagi bagi Lionel Messi dan Cristiano Ronaldo, masuk dalam percakapan GOAT bersama dia.

Semua itu adalah warisan agung Pele, yang akan kekal dalam dunia yang fana ini, khususnya sepak bola.

Dia telah menjadi panutan,referensi, dan sekaligus benchmark atau acuan/patokan untuk generasi-generasi sepak bola kemudian.

Selamat jalan sang legenda, GOAT sejati.