Antv – Jazz Gunung Bromo telah bertahan selama 15 tahun lamanya, sejak awal berdiri.
Sejak diselenggarakannya gelaran Jazz Gunung Bromo, para founder yang terdiri dari Sigit Pramono, Djaduk Ferianto (alm), dan Butet Kartaredjasa memiliki pemahaman bahwa musik jazz bukan budaya Indonesia.
Namun musik jazz telah menjembatani pertemuan budaya yang memberikan ruang ekspresi untuk budaya lokal Indonesia itu sendiri.
“Ketika kita mulai Jazz Gunung di 15 tahun lalu itu, memang konsepnya awalnya kita juga mengusung jazz dengan nuansa etnik. Kenapa? Karena jazz Indonesia tuh tidak ada,” ujar Sigit Pramono, saat konferensi pers dengan awak media di Jiwa Jawa Resort, Bromo, Probolinggo, Jawa Timur, beberapa waktu lalu.
“Karena ini musik yang kita import, musik yang kita ambil dari luar ya kita bawa ke sini. Jadi, makanya ketika saya memutuskan untuk Jazz Gunung ini, kita mencoba mengusung jazz dengan nuansa etnik,” imbuhnya.
Tak semata menyediakan wadah pertemuan bagi musik jazz dan budaya lokal, Jazz Gunung Bromo juga mencetuskan satu terobosan baru yakni grup musik Ring of Fire Project.
“Saat itu masih menampilkan Kua Etnika bersama Djaduk yang kemudian bertransformasi menjadi Ring of Fire Project untuk mengakomodir kolaborasi musisi jazz dan musik tradisional,” kenang Sigit.
Kini Bintang Indrianto yang didapuk menjadi kurator Jazz Gunung Indonesia juga membentuk Blue Fire Project by Bintang Indrianto yang juga memiliki spirit merawat kesenian musik tradisional dan spirit lokalitasnya. Ia bersama musisi tradisional Banyuwangi membuat aransemen kolaboratif jazz dan etnik yang ritmisnya lebih progresif sesuai dengan alat musik tradisional yang digunakan.
Tidak hanya acara jazz bernuansa etnik, Jazz Gunung Bromo 2023 juga menyelenggarakan Pasar Batik Bromo sebagai nuansa baru. Sigit Pramono, founder Jazz Gunung Indonesia sekaligus Penggagas Pasar Batik Bromo memiliki inisiatif melestarikan batik lewat acara musik di Bromo.
“Upaya kita ini sebenarnya sebagai cara kita bisa melestarikan batik. Karena pebatik di beberapa daerah itu usianya sudah berumur, bisa terancam punah diantaranya batik Rifaiyah ini,” tegas Sigit.
Batik Rifaiyah asal Batang, Jawa Tengah ini diperkenalkan lewat salah satu acara bernama Pasar Batik Bromo dan pembukaan Rumah Batik Afifah yang ada di Jiwa Jawa Resort Bromo. Di sini pengunjung diperkenalkan dengan batik Rifaiyah dan seniman batik aslinya secara langsung.
Dudung Alisjahbana, maestro batik Indonesia menambahkan upaya melestarikan batik Rifaiyah ini bisa menyelamatkan seluruh batik di Indonesia. Ia mengatakan batik Indonesia harus jadi bagian warga negara dunia.
“Saat ini UNESCO kan sudah meresmikan batik dari Indonesia. Nah, itu tidak cukup, batik harus jadi warga negara dunia dan dipakai seluruh warga negara lain. Maka dari itu lewat acara Jazz Gunung yang melibatkan turis mancanegara kita perkenalkan,” kata Dudung dalam kesempatan yang sama.
Rangkaian acara Jazz Gunung Bromo 2023 yang mengangkat etnis lokal ini harapannya bisa melebarkan destinasi wisata Bromo. Tidak hanya menikmati pemandangan matahari terbit namun pengunjung bisa eksplorasi musik jazz dan wisata batik tradisional.
“Itu alasannya supaya ada alasan lain orang pergi ke Bromo, selain melihat matahari terbit ya. Apa? Ya nonton Jazz Gunung. Meskipun setahun sekali, tapi dengan orang nonton Jazz Gunung, ‘Oh, ternyata bisa sekalian jalan-jalan ke Bromo, juga sekalian ke Jazz Gunung’. Sehingga, orang kalau ke Jazz Gunung pasti dua malam kan. Itu tujuannya, melakukan rebranding. Jadi, ini memang terus kita lakukan,” ujar Sigit.