Tempo vs Bahlil, Marah Sakti Siregar: Majalah Tempo Tidak Perlu Meminta Maaf

Tempo vs Bahlil, Marah Sakti Siregar: Majalah Tempo Tidak Perlu Meminta Maaf
Tempo vs Bahlil, Marah Sakti Siregar: Majalah Tempo Tidak Perlu Meminta Maaf (Foto : Kolase Istimewa)

2. Pengadu memberikan Hak Jawab kepada Teradu selambat-lambatnya tujuh hari kerja setelah menerima PPR ini.

3. Pengadu dan Teradu wajib mengacu kepada Pedoman Hak Jawab Dewan Pers (Peraturan Dewan Pers Nomor 9/Peraturan-DP/X/2008).

Hak Jawab dengan persetujuan para pihak dapat dilayani dalam format ralat, wawancara, profil, features, liputan, talkshow, pesan berjalan, komentar media siber, atau format lain tetapi bukan format iklan.

Pers berhak menyunting Hak Jawab sesuai dengan prinsip-prinsip pemberitaan atau karya-karya jurnalistik, namun tidak boleh mengubah substansi atau makna Hak Jawab yang diajukan.

4. Pengadu melaporkan kepada Dewan Pers bila pihak Teradu tidak mematuhi hasil penilaian dan rekomendasi Dewan Pers sesuai dengan Pasal 12 butir 4 Peraturan Dewan Pers Nomor 3/Peraturan-DP/VII/2017.

5. Teradu wajib melaporkan bukti tindak lanjut PPR ini ke Dewan Pers selambat- lambatnya 3 x 24 jam setelah Hak Jawab dimuat.

6. Apabila Pengadu tidak memberikan Hak Jawab dalam batas waktu pada butir 2, maka Teradu tidak wajib untuk memuat Hak Jawab.

7. Pengadu sebagai pejabat publik diharapkan untuk lebih terbuka terhadap pers agar tercipta keberimbangan, keakuratan dalam pemberitaan dan terhindar dari penghakiman.

TELAAH

SETELAH meyimak secara keseluruhan isi PPR Dewan Pers no 7 tahun 2024 maka kita dapat membaca bahwa sesungguhnya kesimpulan akhir  hasil pemeriksaan dan analisa Komisi Pengaduan Dewan Pers dirumuskan dalam 5 (lima) Putusan dan 7 (tujuh) Rekomendasi.

Dan dari lima butir Putusan, empat butir di antaranya, yakni, butir 1, 2, 3, dan 5, sepenuhnya membenarkan Tempo dan siniar Bocor Alus Politiknya.

Hanya butir ke-4, yang menyebut dan menyatakan Teradu melanggar Pasal 1 Kode Etik Jurnalistik karena tidak akurat. Di sampul majalah Teradu tertulis “Menteri Investasi Bahlil Lahadalia mencabut ribuan izin usaha tambang nikel”, padahal jumlah izin usaha tambang nikel yang dicabut hanya ratusan (tidak dituliskan angka pastinya).

Selain itu, Teradu dinilai tidak akurat dałam memberitakan tentang “Peraturan Presiden Nomor 70 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Lahan bagi Penataan Investasi”, yang seakan-akan lelang sudah dilaksanakan (hal. 38).

Itulah dua kesalahan atau ketidakakuratan Majalah Tempo-- yang janggalnya-- kemudian seperti menjadi benang merah dari isi Rekomendasi Dewan Pers yang dinilai para wartawan senior bernuansa menghukum Majalah Tempo dan memenangkan lawannya (Pengadu). Terutama jika dibaca butir 1 Rekomendasi:

“Teradu wajib melayani Hak Jawab dari Pengadu secara proporsional, disertai permintaan maaf kepada Pengadu dan masyarakat pembaca, selambat-lambatnya pada edisi berikutnya setelah Hak Jawab diterima.”

Diksi "meminta maaf" yang dikenakan Dewan Pers kepada Majalah Tempo, yang dibunyikan senafas dengan kewajiban memberikan hak jawab kepada Menteri Investasi/ Ketua BKPM Dahlil Lahadalia, sangat terasa memberatkan dan kurang tepat alias berlebihan.

Paradoks dengan isi 4 butir Putusan PPR 7 yang membenarkan Majalah Tempo dan siniar Bocor Aluś Politiknya.

TANPA UNSUR PEMBERAT

Dengan kata lain, sepatutnya Tempo cukup diminta memberikan hak jawab. Tidak perlu ada imbuhan harus meminta maaf.
Sebab, jika merujuk kebiasaan di Dewan Pers pada setiap kali ditemukan kasus pelanggaran Kode Etik Jurnalistik, frasa “diserta permintaan maaf” baru dibebankan kepada Teradu jika ditemukan adanya unsur pemberat dalam pelangggaran pasal-pasal dalam KEJ. Misalnya, media atau wartawannya beritikad buruk, menafikan sama sekali kewajiban verifikasi, dll.

Unsur-unsur pemberat yang biasa jadi pertimbangan ketika Dewan Pers  mengenakan tambahan keharusan Teradu Tempo untuk meminta maaf tidak ditemukan dalam risalah hasil pemeriksaan seperti dibeberkan dalam PPR Dewan Pers no7 2024.

Lalu, apa pertimbangan dan alasan Dewan Pers menyertakan frasa minta maaf? Ketua Komisi Pengaduan Dewan Pers Yadi Hendriana mengatakan frasa itu sengaja dibuat sebagai pesan untuk semua media.