Begini Modus Mafia Tanah, Basmi Dong, Pak Jokowi dan Tolong Korbannya !

MANSYUR1
MANSYUR1 (Foto : )
Modus mafia tanah hampir serupa di berbagai wilayah. Lahan yang luas untuk kepetingan bisnis, mereka menawar harga tanah milik rakyat dengan harga sangat murah sambil menguasai lokasi dengan "beking" oknum aparat. Nah, setelah tanah dikuasai secara fisik, warga diberi pilihan sulit, terima harga murah atau silakan gugat ke pengadilan. Sebut saja Adhi, dia punya pengalaman saat berhadapan dengan kelompok mafia tersebut. Tanahnya seluas 1000 meter di kawasan Tangerang Selatan ditawar 15 ribu rupiah/m2. Padahal , harga tanah  pada tahun 2012 silam di lokasi itu berkisar  satu juta rupiah. "Gila ya, murah banget nawarnya"ungkap Adhi. Tentu saja, Adhi menolak tawaran tersebut. Menurut Adhi, orang yang mengaku utusan dari pengembang tersebut  menyarankannya untuk menerima 15 ribu rupiah/meter2 . Sebab, menurut orang suruhan tersebut, selain telah menguasai  tanah secara fisik , pengembang juga sudah memiliki sertifikat. " Mereka
bluffing
aja, gak pernah nunjukkin surat sertifikat tersebut" ujar Adhi. Orang suruhan itu pun mengatakan, silakan tempuh jalur pengadilan , kalau memang tidak mau menerima pembayaran sebesar 15 ribu rupiah per meter . Adhi memilih menempuh jalur pengadilan. Karena memiliki uang untuk berperkara di pengadilan.  Nah, bagaimana dengan  warga di desa/kampung tersebut yang tidak cukup memiliki uang melawawan pengembang di pengadilan? Sebagian besar dari mereka terpaksa  menerima harga murah dari "utusan" pengembang. Di saat  Adhi menempuh jalur pengadilan, rumah  Ibu kandungnya didatangi oknum aparat. Oknum tersebut menakut-nakuti ibunya agar segera menjual tanah tersebut.  Namun, di tempat terpisah, Adhi juga didekati " orang suruhan" pengembang yang menawar harga tanahnya lebih tinggi lagi.  Hingga akhirnya pengadilan negeri memenangkan Adhi .  Setelah menang di pengadilan negeri, Tanah Adhi ditawar menjadi 600 ribu per meter. "Bayangin, 40 kali lipat. dari 15ribu jadi 600 ribu." Sebenarnya saya mau bertahan. Tapi, capek juga kalau mereka banding terus.."Ungkapnya Menurut Adhi, dia juga pesimis bisa menang lagi di tingkat pengadilan yang lebih tinggi hingga sampai kasasih.  Adhi juga takin yakin mafia peradilan sudah tidak ada lagi di negeri ini. Karena itu daripada uangnya habis untuk berperkara, Adhi akhirnya menerima pembayaran sebesar 600 juta rupiah untuk  tanah berstatus girik seluas 1000 meter . Pengalaman serupa Adhi juga dialami Sutarman. Menurut Sutarman, tanah Rusli Ayahnya yang berstatus girik seluas 2,5 hektar  di kawasan Serpon, Tangsel tetiba dikuasai pengembang besar .  Padahal , dia tidak bersengketa dengan pengembang tersebut. Justru Ayahnya dimenangkan di Pengadilan Tinggi Jawa Barat  ketika bersengketa dengan salah satu ahli waris pemilik lahan yang telah dibeli ayahnya . "Pengadilan Tingi  telah memenangkan kami. setelah dua minggu tidak ada banding dari penggugat. Artinya sudah inkrah, berkekuatan hukum tetap. Lantas, tiba-tiba ada pihak lain yang menggugat kami" Ungkap Sutarman saat mengadu di LKBH FHU beberapa waktu lalu.  Pada tahun 1998 tanah tersebut berhasil dieksekusi dan dikuasai Sutarman dan keluarganya. Namun ancaman dari oknum  aparat suruhan pengembang mengusir mereka di tanah tersebut. Menurut Sutarman,  tanah ayahnya juga pernah ditawar harga murah oleh orang yang mengaku utusan pengembang tersebut. Tentu Ayahnya menolak. Menurutnya, ajakan damai oleh utusan pengusaha tersebut dilakukan hingga tiga kali  dan terakhir ditawar 5 milyar rupiah untuk tanah seluar 2,5 ha di kawasan elit di Tangerang Selatan.  Kini, Rusli dan keluarganya kembali mengguggat status tanahnya yang masih dikuasai pihak lain. " Kalau mereka punya sertifikat, dari siapa jual-belinya, darimana alasnya, berani gak BPN Buka warkanya?'Ungkap Sutarman. Sutaraman telah melaporkan kasusnya ke Ombudsman Banten dan ke BPN Tangsek dan ke Walikota Tangsel serta ke FHUI . Bahkan Sutaraman nekat berunjukrasa seusai Jokowi bagi-bagi sertifikat di Serang,Banten beberapa bulan lalu. Nasib serupa juga dialamai warga Marunda , Bekasi. Tanah mereka yang berstatus girik kini dikuasai pengembang yang berbisnis pergudangan. Sobri salah satu warga mengaku ada sekitar 90 ha tanah girik warga yang belum dibayar tetapi sudah dikuasai perusahaan. Warga masih memiliki bukti girik dan membayar PBB . Dan seperti Adhi, Rusli , tanah milik kakek  Sobri dan warga marunda lainnya juga ditawar murah. " Kami tidak terima kalau dibayar sekadar uang kerohiman. Itu tanah nenek moyang kami. Tidak pernah kami jual. Sebalinya, kami juga tidak menuntut harga pasaran. Yang wajar aja" Ungkap Sobri saat mendatangi Fakultas Hukum UI . Selain menyasar warga di pinggiran Jakarta, Mafia tanah juga merambah ke kaki Gunung. Adalah H Mansyur,(66) sesepuh warga Cijeruk akhirnya berkirim surat kepada Jokowi. Pasalnya, tanah garapan warga desa  seluas lebih kurang enam puluh lima hektar ini dikuasai oleh sebuah perusahaan yang sudah mempunyai sertifikat tanah. Padahal ia belum pernah diajak bicara atau membuat surat alih garapan kepada pihak lain. "Dari mana alas buat sertfikat, kami belum pernah oper alih garapan, tidak pernah menjual. kok bisa keluar sertifiat"ungkap H mansyur H. Mansyur sulaiman sempat melihat di media Presiden Jokowi membagi-bagikan sertifikat tanah.  Karena itu,  iapun memberanikan diri menulis surat ini kepada presiden . Harapannya tentu Presiden Jokowi mengirimkan utusan kepada kakek dengan memberikan solusinya . Sebab status tanah yang ia garap kini telah beralih kembali ke perusahaan besar. Tentu masih banyak rakyat negeri ini yang nasibnya serupa terjebak modus mafia tanah. Modusnya  menurut ara korban yaitu, bersengkongkol dengan oknum di kelurahan/desa dengan menggelapkan girik, bersengkongkol dengan oknum BPN, menawar dengan harga murah, menakut-nakuti warga dengan menggunakan oknum aparat keamanan, dan bersengkokol dengan mafia peradilan. H Mansyur dan warga lain menunggu solusi dari Presiden Jokowi . Mampukah Presiden Jokowi membereskan masalah ini jika hingga kini kepala BPN tidak berani bicara secara terbuka bolehkan tanah sengketa dibuat sertifikat?     Laporan Mely Kasna dari Depok, Anggit Gunadi dari Banten , dan Usep Syarifudin dari Bogor