Hujan Es di Yogyakarta dan Kaltim, BMKG: Penyebabnya Awan Cumulonimbus

Hujan Es di Yogyakarta dan Kaltim, BMKG: Penyebabnya Awan Cumulonimbus
Hujan Es di Yogyakarta dan Kaltim, BMKG: Penyebabnya Awan Cumulonimbus (Foto : )
 
Badan Meterorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) menjelaskan hujan es merupakan fenomena cuaca alamiah yang biasa terjadi dan termasuk dalam kejadian cuaca ekstrem, seperti yang terjadi di Yogyakarta dan Kalimantan Timur.
Koordinator Bidang Diseminasi Informasi Iklim dan Kualitas Udara BMKG, Hary Tirto Djatimko menuturkan, kejadian hujan lebat atau es disertai kilat/petir dan angin kencang berdurasi singkat, lebih banyak terjadi pada masa transisi atau pancaroba musim, baik dari musim kemarau ke musim hujan atau sebaliknya. "Dapat dimungkinkan terjadi pada musim hujan dengan kondisi cuaca sama seperti masa transisi atau pancaroba," kata Hary Tirto di Jakarta, Rabu (3/3/2021), dikutip dari viva.co.id. Ia menjelaskan, terjadinya fenomena hujan es atau hail disebabkan oleh adanya awan Cumulonimbus, pada awan ini terdapat 3 macam partikel (butir air, butir air super dingin dan partikel es). Sehingga hujan lebat yang masih berupa partikel padat (es/hail) dapat terjadi, tergantung dari pembentukan dan pertumbuhan awan Cumulonimbus tersebut. "Biasanya awan berbentuk berlapis-lapis dan seperti bunga kol, di antara awan tersebut ada satu jenis awan yang mempunyai batas tepinya sangat jelas berwarna abu-abu menjulang tinggi yang akan cepat berubah warna menjadi abu-abu hitam," katanya. Hary menjelaskan lebih lanjut, pada awan tersebut terdapat beberapa fenomena dalam proses pembentukan dan pertumbuhannya, seperti: 1.  Adanya proses pergerakan massa udara naik dan turun yang sangat kuat (dikenal dengan istilah Strong Updraft and Downdraft) di dalam awan Cumulonimbus atau CB. Pergerakan massa udara naik (Updraft) yang cukup kuat, dapat membawa uap air naik hingga mencapai ketinggian dimana suhu udara menjadi sangat dingin hingga uap air membeku menjadi partikel es. Lalu, partikel es dan partikel air super dingin akan bercampur dan teraduk-aduk akibat proses Updraft dan Downdraft hingga membentuk butiran es yang semakin membesar. Ketika butiran es sudah terlalu besar, pergerakan massa udara naik tersebut tidak akan mampu lagi mengangkatnya sehingga butiran es akan jatuh ke permukaan bumi menjadi hail/hujan es. "Strong updraft di suatu daerah dapat terbentuk dan terjadi akibat adanya pemanasan matahari yang intens (pemanasannya sangat optimal/kuat) antara pagi hingga siang hari dan dapat juga dipengaruhi oleh topografi suatu daerah," katanya. 2. Adanya lapisan yang tingkat pembekuan yang lebih rendah, dikenal dengan istilah Lower Freezing Level. Pada fenomena hujan es, lapisan tingkat pembekuan mempunyai kecenderungan turun lebih rendah dari ketinggian normalnya. "Hal inilah menyebabkan butiran es yang jatuh ke permukaan bumi tidak mencair sempurna," ujarnya. Selanjutnya, terkait lapisan tingkat pembekuan (Freezing level) merupakan lapisan pada ketinggian tertentu di atas permukaan bumi, dimana suhu udara bernilai nol derajat celsius. Pada ketinggian ini, butiran air umumnya akan membeku menjadi partikel es. Di indonesia umumnya lapisan tingkat pembekuan berada pada kisaran ketinggian antara 4-5 km di atas permukaan laut. Sifat-sifat fenomena hujan es  yaitu: sangat lokal, luasannya berkisar 5 - 10 km, waktunya singkat sekitar kurang dari 10 menit, lebih sering terjadi pada peralihan musim atau pancaroba, dapat dimungkinkan terjadi pada musim hujan dengan kondisi cuaca sama seperti masa transisi atau pancaroba, lebih sering terjadi antara siang dan sore hari. Kemudian, tidak bisa diprediksi secara spesifik, hanya bisa diprediksi 0,5 - 1 jam sebelum kejadian jika melihat atau merasakan tanda-tandanya dengan tingkat keakuratan kurang dari 50 persen, hanya berasal dari awan Cumulonimbus, tetapi tidak semua awan Cumulonimbus menimbulkan hujan es dan kemungkinannya kecil untuk terjadi kembali di tempat yang sama dan dalam waktu yang singkat.