Surat Terbuka Mayjen (Pur) Saurip Kadi untuk Presiden Jokowi, Ini Isinya

Surat Terbuka Mayjen (Pur) Saurip Kadi untuk Presiden Jokowi, Ini Isinya (Foto Istimewa)
Surat Terbuka Mayjen (Pur) Saurip Kadi untuk Presiden Jokowi, Ini Isinya (Foto Istimewa) (Foto : )
Mayor Jenderal TNI (Pur) Saurip Kadi adalah seorang tokoh militer Indonesia yang lulus dari Akademi Militer pada tahun 1973, seangkatan dengan Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono dan mantan Pangkostrad Agus Wirahadikusumah.
Memulai kariernya sebagai perwira militer di lingkungan Kodam V/Brawijaya yaitu di Batalyon Infanteri 521/Dadaha Yudha, dilanjutkan di Brigif 16/Wira Yudha masing-masing di Kediri dan di Korem 083/Baladhika Jaya di Malang.Dikutip dari Wikipedia, Saurip memasuki panggung politik untuk pertama kalinya pada tahun 1995 ketika menjadi Anggota DPR yang mewakili Fraksi ABRI hingga tahun 1997.Mayjen (Pur) Saurip Kadi secara bersambung mengirim surat terbuka untuk Yth. Bapak Presiden, Ketua MA dan sejumlah Pimpinan Lembaga Tinggi Negara, Kementerian serta Lembaga Pemerintah terkait tentang kerusakan etika moral, peradaban, kebangsaan dan bahkan kenegaraan kita, serta solusi untuk mengatasinyaDalam beberapa kesempatan pria kelahiran  Brebes, Jawa Tengah, 18 Januari 1951 silam itu sering menulis surat terbuka kepada Presiden Jokowi tentang kondisi bangsa.Terbaru, adalah surat terkait kondisi Negara Kasatuan Republik Indonesia (NKRI) yang dinilainya makin kotor.Berikut isi suratnya:
“TURNING POINT” berupa pemihakan yang nyata kepada rakyat banyak, sebagaimana “niat ingsun” pendiri republik telah bapak tempuh. Di masa lalu biaya APBN untuk Pendidikan hanya dinikmati keluarga kaya, kini semua anak-anak generasi penerus semua bisa sekolah. Hal yang sama juga dibidang kesehatan, dengan menyempurnakan kebijakan pemerintahan sebelumnya kini rakyat banyak tanpa kecuali bisa berobat ke Rumah Sakit, walupun tata pelayanan dan pengelolaan BPJS nya masih banyak yang harus disempurnakan. Dan begitu juga tentang pangan, berita busung lapar belakangan ini juga sudah tidak lagi terdengar. Sisa hutan yang belum dikuasasi konglomerat dan pemilik modal besar lainnya seluas 12,7 Juta hektar juga telah bapak bagikan kepada rakyat sebagai hutan sosial, walaupun dalam prakteknya banyak masyarakat penerima hak yang hingga kini belum bisa menggarapnya, bahkan harus “berhadapan” dengan pemegang kapital yang secara illegal menguasainya lebih dahulu.