Mencari Burung Surga di Pekatnya Langit Raja Ampat

IMG_22Okt2019090908
IMG_22Okt2019090908 (Foto : )
Ikon Provinsi Papua, Cendrawasih masih bisa ditemui di hutan Warkesi, Kabupaten Raja Ampat. Tertarik melihat habitat Cendrawasih? Ayo ke Raja Ampat.
Langit Raja Ampat masih gelap. Pukul 05.00 WIT. Hari ini saya dan lima orang teman akan melihat burung yang terkenal dengan julukan burung surga yaitu burung Cendrawasih. Cendrawasih ini merupakan ikon Provinsi Papua. [caption id="attachment_240916" align="alignnone" width="900"]
Cendrawasih. (foto: Andhy PS/ Dir.FFI IP R4)[/caption] Dalam perjalan kali ini kami di temani  Edwin, pria asli Raja Ampat. Edwin lulusan salah satu universitas swasta di Yogyakarta jurusan pariwisata. Kecintaannya pada Tana Papua membuat  Edwin kembali untuk berbuat banyak bagi pariwisata di tanah kelahirannya. Sasaran yang kami tuju adalah Hutan Warkesi. Hutan Warkesi merupakan salah satu kawasan hutan di Pulau Waigeo, Kabupaten Raja Ampat, Papua  Barat, tempat hidup ratusan jenis burung. Namun yang banyak menjadi incaran  tentu Cendrawasih. Ada dua jenis Cendrawasih yang hidup di Warkesi, Cendrawasih Merah dan Cendrawasih Wilson. [caption id="attachment_240917" align="alignnone" width="900"] Cendrawasih Wilson. (foto: Andhy Ps/ Dir.FFI IP R4)[/caption] Tak heran Hutan Warkesi juga buruan wisatawan ketika di Raja Ampat. Di sini anda bisa melihat Cendrawasih hidup di alam bebas. Setelah naik mobil sekitar 10 menit dari hotel kami pun sampai di Warkesi. Langit Papua masih tak bercahaya. Gelap dan suram. Suara binatang yang tak jelas jenisnya apa terdengar riuh. Untuk melihat Cendrawasi ada dua kesempatan tiap harinya. Pagi dan sore, saat mereka cari makan. Hanya saja, pagi lebih baik. Bulu Cendrawasih yang kena matahari akan terlihat indah. Petualangan dimulai. Sebelum masuk hutan Warkesi, Edwin mengingatkan kami untuk mengambil potongan kayu yang bisa dipergunakan sebagai tongkat selama perjalan. “Bawa tongkat ya. Jalan yang kita tuju mendaki dan sedikit licin,” kata Edwin. Semula saya pikir ini adalah perjalanan yang mudah namun ternyata saya salah. Ini perjalan yang berat dan melelahkan. Awalnya kami berpikir banyak binatang buas dalam hutan Warkesi. "Tidak ada binatang buas, yang ada paling ular namun itupun jarang," ungkap  Edwin. Medan terjal dengan jalan yang licin membuat kita yang bisa tinggal di kota kewalahan. Entah berapak kali kami terpaksa istirahat untuk mengatur nafas. Tentu ini berbeda dengan Edwin, Edwin terlihat santai saja.  Sesekali terdengar Edwin memberi semangat pada kami. “Ayo kaka dekat lagi. Cuma satu tanjakan.” Percayalah itu cuma rayuan Edwin agar kami tak menyerah. Tanjakan yang harus dilalui bukanlah satu tapi banyak. Dengan medan yang semakin ke atas makin sulit. ”Sepertinya ini kali pertama dan terakhir saya cari-cari cendrawasi ke hutan. Saya ga mau lagi. capeeeeek,” pikir saya di tengah perjalanan Setelah berjalan sekitar 30 menit, kami sampai di puncak Warkesi. Ketika itu langit mulai berwarna. Kata Edwin untuk melihat Cendrawasih harus naik ke rumah pantau cendrawasi. Rumah pantau berada di atas pohon. Kita harus naik tangga untuk sampai ke atas. “Oh Tuhan, apalagi ini. Tak cukupkah jalan terjal yang baru kami lalu. Masih harus naik rumah pohon,” batin saya. “Ayo semangat kawan-kawan. Jangan sampai tidak lihat cendrawasih. Sayang sekali sudah di atas." Baiklah saya dan teman-teman pasti naik. Tapi atur nafas dulu. Wkkwkw.. “Pulang ke Jakarta kita harus biasakan diri olahraga di. Jangan sampai jalan sebentar aja, nafas dah mau ilang gini,” ungkap saya ke teman saya Diana. Sampai di atas rumah pohon. Matahari mulai terang. Dan kami bisa  bisa melihat cendrawsih dengan jelas. “Oh Tuhan ini kah yang disebut-sebut orang sebagai burung surga itu. Begitu indah. Lincah bergerak dari satu pohon ke pohon lain. Sesekali terlihat mereka menari.  Bulunya terlihat indah terkena sinar matahari. Begitu menakjubkan. Ada sekitar sebelas ekor cendrawasih yang kami liat pagi itu. “Kalian beruntung ada 11 ekor Cendrawasih. Biasanya Cuma sekitar 5-7 yang keluar,” kata Edwin. Baiklah saya ralat pikiran saya yang tadi. Ini bukan kali pertama dan terakhir saya mencari Cendrawasih. Keindahannya membuat terbayar lunas letih selama perjalanan. Menurut Edwin untuk membedakan Cendrawasih betina dan jantan sangat mudah. Cendrawasih jantan memiliki tubuh lebih besar serta punya kabel di badannya. Sedangkan cendrawasih betina ukurannya lebih kecil dan tidak punya kabel. “Kabel itu beda dengan ekor. Kalau diperhatikan akan terlihat ada kabel pada yang jantan,” jelas Edwin. Edwin menjelaskan burung cendrawasih yang kami liat adalah jenis Cendrawasih merah. Kalau yang Wilson, kami masih harus berjalan jauh ke dalam hutan. Setelah puas melihat cendrawasih kami pun memutuskan untuk turun. Di bawah rumah pohon kami bertemu dengan adik ipar Edwin. Namya Alvian. Alvian seorang pria asli Palu, Sulawesi Tengah.  Alvian ini lah yang menjaga Cendrawasih yang barusan kami liat. Alvian mengabdikan hidupnya untuk Cendrawasih di Warkesi. Setiap harinya Alvian menyediakan biji-bijian untuk makan Cendrawasih. Ia juga memberi cendrawasih buah merah, agar tetap sehat. “Saya taunya buah merah bagus untuk kesehatan. Saya coba beri Cendrawasi ternyata mereka suka. Makanya saya selalu sediakan buah merah untuk mereka. Karena ukuran buah merah besar semingguan baru habis” jelas Alvian. Tak hanya makanan Alvian juga menyediakan minum untuk Cendrawasih. Kecintaan alvian pada Cendrawasih membuatnya rela melepas pekerjaan di kapal dan mendedikasikan diri memelihara dan melestarikan Cendrawasih. “Sudah setahun saya menjaga Cendrawasih di Warkesi. Setiap hari naik turun bukit untuk liat Cendrawasi”. Hebat.  Di jaman yang semakin komersil ini masih ada orang dengan jiwa sosial yang sukarela menjaga Cendrawasi di tengah hutan. Tak lagi banyak tapi masih ada. Bagaimana anda berminat untuk melihat Cendrawasih di alam bebas? Anda bisa hubungi sahabat saya Edwin.  ini nomor kontaknya 0821-99692626 Ayo ke Raja Ampat.