Heli MI-8 Lakukan Water-Bombing Wilayah Terdampak Likuifaksi Sulteng

Heli MI-8 Lakukan Water-Bombing
Heli MI-8 Lakukan Water-Bombing (Foto : )

Helikopter MI-8 memulai melakukan water-bombing atau pengeboman material disinfektan di wilayah terdampak likuifaksi, seperti Petobo, Balaroa, dan Jono Oge. Pengeboman menjadi langkah yang efektif karena cakupan wilayah yang luas dan kondisi lapangan yang berpotensi terjadi amblesan.

Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mengirimkan helikopter untuk membantu water-bombing. Operasi ini juga berkoordinasi dengan Kementerian Kesehatan, dinas terkait serta TNI. Sebelum water bombing, material disinfektan diisi ke dalam ember yang disiapkan personil TNI.

Penanganan wilayah terdampak likuifaksi tidak hanya dengan water bombing, tetapi juga fogging atau penyemprotan di darat. Langkah tersebut telah dilakukan di wilayah-wilayah yang dapat dijangkau di Petobo dan Balaroa.

Penyemportan juga dilakukan di halaman rumah sakit yang digunakan untuk pengumpulan jenazah, seperti RS Undata, RS Madani, dan RS Bhayangkara. Tindakan ini merupakan upaya untuk membasmi kuman penyakit pasca bencana. Namun untuk solusi jangka panjang, penimbunan wilayah terdampak likuifaksi harus segera dilakukan.

Pengeboman maupun penyemprotan disinfektan ini merupakan upaya antisipasi penyebaran penyakit melalui hewan seperti lalat, kecoa, atau tikus. Operasi korban bencana telah dihentikan tim gabungan pada 12 Oktober lalu. Meski tidak tertutup kemungkinan mereka melakukan operasi evakuasi ketika mendapatkan laporan dari warga.

Penimbunan wilayah terdampak untuk dijadikan sebagai ruang publik sempat disampaikan pada pembahasan penanganan ke depan. Dalam rilis Komando Tugas Gabungan Terpadu (Kogasgabpad) pada Selasa (16/10),  lokasi Balaroa dan Petobo akan ditimbun terlebih dahulu dan ditetapkan sebagai pemakaman massal.

Selanjutnya pemerintah setempat akan menutup lokasi tersebut dan tidak boleh lagi ada pembangunan karena akan dibuat sebagai kawasan hijau dan monumen di dua lokasi tersebut

Rekomendasi Penimbunan di Kawasan Likuifaksi

Sementara, Kepala Pusat Krisis Kementerian Kesehatan,  Ahmad Yurianto merekomendasikan penimbunan di wilayah terdampak likuifaksi. Seperti di wilayah Petobo yang lapisan tanahnya terangkat akan ditimbun. Cara terbaik adalah menimbun dengan tanah seperti selayaknya memakamkan jenazah dalam kehidupan masyarakat sehari hari.

“Pertimbangan terbaik dalam penanganan jenazah yang belum diketemukan setelah hari ke-7 adalah dengan tetap memakamkan di lokasi yang diduga jenazah itu berada,” ujar Yurianto melalui pesan pendek.

“Ini adalah bentuk penghormatan terhadap jenazah tersebut, di samping kemungkinan untuk bisa menemukan jenazah dalam keadaan utuh sangat kecil kemungkinannya, penggalian jenazah juga sangat berisiko terhadap penyebaran dan penularan bakteri-bakteri berbahaya bagi kesehatan lingkungan sekitar.

”Yurianto juga menyampaikan bahwa perlu dilakukan oleh dinas terkait untuk melakukan pengecekan kualitas air tanah secara berkala. Selain itu, upaya yang perlu dilakukan ketika melalukan penimbunan yaitu pembuatan drainase yang baik agar air hujan bisa terkumpul dengan baik dan bisa diintervensi sebelum masuk sungai.

“Ideal jika timbunan ditanggul dan drainase dibuat dari semen,” ungkap Kepala Pusat Krisis Kemenkes. Hasil analisis sementara pemetaan spasial, wilayah terdampak likuifaksi pasca gempa Sulteng menyebabkan pengangkatan dan amblesan di Balaroa, Palu.

Sedangkan jumlah perkiraan rumah terdampak mencapai 1.045 unit. Luas wilayah terdampak mencapai 47,8 hektar. Jumlah perkiraan rumah terdampak di Petobo, Palu mencapai 2.050 unit dengan luas wilayah 180 hektar.

Sedangkan di Jono Oge, Sigi, mencapai 366 unit dengan luas wilayah 202 hektar. Likuifaksi merupakan fenomena yang terjadi ketika tanah yang jenuh atau agak jenuh kehilangan kekuatan dan kekakuan akibat adanya tegangan, seperti getaran gempa bumi.

Potensi Likuifaksi Sangat Tinggi

Berdasarkan penelitian Badan Geologi pada 2012 menyebutkan,  Palu merupakan wilayah dengan potensi likuifaksi sangat tinggi.

Gempa magnitudo 7,4 yang mengguncang beberapa wilayah di Sulteng pada akhir September lalu mengakibatkan ribuan jiwa meninggal dunia dan luka berat.

Data Kogasgabpad per 17 Oktober 2018 melansir jumlah korban meninggal dunia 2.103 jiwa, hilang 680, luka-luka 4.612 dan pengungsi 274.195. Ribuan orang diperkirakan meninggal dunia dan tertimbun di wilayah terdampak likuifaksi. Pemerintah Provinsi telah memperpanjang status tanggap darurat hingga 26 Oktober 2018.