Tradisi Berburu Madu Hutan Di Tanah Leluhur Suku Baduy 

baduy hasil panen ok
baduy hasil panen ok (Foto : )
Dampak yang ditimbulkan dari virus Corona (COVID-19 ), mengakibatkan desa wisata Baduy ditutup sementara, dari para wisatawan.
Demi untuk bertahan hidup mereka tetap bekerja keseharian dengan bertani, menenun serta tradisi berburu madu hutan di tanah leluhur.
Suku Baduy kelompok etnis Sunda yang hidup bersama alam di Pegunungan Kendeng, Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Banten. Kondisi masyarakat Baduy Saat ini masih terhindar dari penyebaran virus Corona (COVID-19).Namun dampak yang ditimbulkan dari virus Corona (COVID-19 ), mengakibatkan desa wisata Baduy ditutup sementara, dari para wisatawan. Penutupan tempat wisata tersebut bertujuan agar dapat mencegah penyebaran virus Corona di tengah tengah masyarakat Baduy.[caption id="attachment_312111" align="alignnone" width="900"] keluarga suku Baduy di kampung Ciboleger ( Foto antvklik Rafles Umboh).[/caption]Sebagian masyarakat Baduy yang mengandalkan mata pencaharian dari sektor pariwisata,  mengalami kesulitan ekonomi. Demi bertahan hidup mereka tetap bekerja dengan bertani, menenun serta tradisi berburu madu hutan di tanah leluhur.Kekayaan alamnya yang subur dan kaya berlimpah mempermudah suku Baduy mendapatkan kebutuhan hidupnya sehari-hari.Beberapa masyarakat Baduy menambah penghasilan dengan melakukan perburuan madu di hutan. Salah satunya Kang Herman yang merupakan masyarakat suku Baduy luar. Dia biasanya menjadi pemandu wisata, kampung suku Baduy. Namun setelah penutupan sementara ini, dia lebih banyak berburu madu hutan untuk menutupi kebutuhan rumah tangganya.Di Desa Kanekes ini Kang Herman bersama warga Baduy lainnya, memanen madu dengan cara tradisional. Mereka mengambil madu dari sarang atau biasa disebut odeng. Madu Baduy dihasilkan oleh lebah-lebah liar yang hidup bebas dan bersarang di hutan lindung tanah leluhur.Biasanya Kang Herman bersama tiga orang kerabat kampung lainnya, melakukan perburuan madu dilakukan sebelum sang surya terbit. Mereka berjalan menyusuri bukit dan hutan selama 3-4 jam perjalanan, baru tiba di lokasi terdekat.Setelah tiba di lokasi di hutan lindung atau hutan garap, mereka mencari lokasi yang memang menjadi habitat lebah-lebah sering bersarang. Lebah bersarang di atas pohon pohon liar yang berada di tengah-tengah hutan.Mereka melakukan pemanenan dengan alat-alat yang digunakan antara lain sige, upet, pisau, karung, tali, ember, dan saringan. Sige adalah bambu yang digunakan untuk melakukan pemanjatan, terdiri dari dua bagian yaitu banthol (pengait), yang akan disambung dengan lonjoran.[caption id="attachment_312106" align="alignnone" width="900"] Pengasapan untuk mengambil sarang madu ( Foto : Tangkapan video Herman).[/caption]Setelah persiapan selesai, maka diawali dengan pengasapan, upet adalah bahan pembuat asap. Biasanya upet dibuat dari dedaunan yang diikat, kemudian dibakar di bagian ujungnya. Hasil pembakaran dedaunan yang masih agak basah ini menghasilkan asap. Pada saat pengasapan, lebah itu pergi akan pergi meninggalkan sarangnya dalam waktu singkat mereka akan kembali.Pemanjat harus cepat-cepat mengambil, kalau tidak segerombolan lebah akan menyerang. Dengan langsung memotong bagian kepala sarang yang berisi madu. Bagian berisi telur, larva dan pupa dibiarkan. Agar harapannya sarang akan kembali terisi madu dan nantinya bisa dipanen kembali.[caption id="attachment_312107" align="alignnone" width="1257"]