RUU KUHP, Kodifikasi yang Tak Kunjung Menjadi 'Legacy'

gedung dpr2
gedung dpr2 (Foto : )
Rancangan Undang-Undang tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) hari-hari ini kembali riuh menjadi perbincangan. Setelah 50 tahun lebih digodok, dan terus berstatus sebagai rancangan, DPR RI periode 2014-2019 hendak mengesahkannya menjadi undang-undang di pengujung masa jabatan mereka.Namun setelah puluhan tahun dibahas dan dirumuskan oleh para pakar dan profesor, serta ikut melibatkan kampus dan tidak sedikit elemen masyarakat  RUU KUHP belum mampu meyakinkan publik untuk bisa disahkan.Mahasiswa yang tahun-tahun belakangan terkesan cuti berdemonstrasi, secara mengejutkan begerak turun ke jalan dalam jumlah masif dan menyebar. Mereka menolak sejumlah RUU termasuk RUU KUHP yang dianggap banyak melahirkan pasal kontroversial.

Satu Gagasan, Banyak Perdebatan

Sebagai mahasiswa 20 tahun lalu,  saya kembali teringat akan keriuhan pembahasan RUU KUHP kala itu. Bedanya saat itu masih  ramai di tataran diskusi dan perdebatan-perdebatan ilmiah.Kompleksnya permasalahan hukum pidana dan berbhinekanya pemikiran yang berkembang membuat RUU KUHP tak kunjung rampung. Namun karena semua berangkat dari gagasan pemikiran yang sama, yaitu harus bisa meninggalkan KUHP peninggalan warisan kolonial Belanda  dan memiliki KUHP karya bangsa Indonesia yang bercita rasa Indonesia, berkeadilan dan bersumber dari nilai-nilai yang  hidup di masyarakat Indonesia, energi untuk melahirkan KUHP nasional tidak pernah surut.Saat itu saya pun tak bosan-bosannya mengikuti seminar, talkshow , dan diskusi yang digelar untuk membahas RUU KUHP.  Pikiran saya dirasuki keinginan untuk membedah RUU KUHP lebih mendalam dan memberikan sumbangan pemikiran. Sebuah karya tulis ilmiah bernafas RUU KUHP saya tulis untuk diperlombakan. Pun melalui skripsi yang saya susun, saat itu saya berpendapat KUHP yang saat ini berlaku kurang berpihak kepada korban yang menderita kerugian materil dari imbas tindak pidana yang dialaminya, karena tidak mengenal adanya ganti rugi.Memasukkan konsep hukum pidana Islam yang mengenal adanya diyat (ganti rugi) rasanya tidak berlebihan, karena nilai Islam adalah bagian nilai yang juga berkembang di masyarakat Indonesia. Sesuai RUU KUHP pasal 66 sudah terdapat pidana ganti rugi sebagai bagian dari pidana tambahan. Ini menunjukkan adanya pengakuan atas penderitaan korban kejahatan dan kesedian tanggung jawab dari pelaku tindak pidana. Korban tidak perlu lagi menguras energi dengan menempuh jalur perdata untuk mendapatkan ganti rugi dari pelaku tindak pidana.

Menengok Lebih Jernih Lagi Pasal-Pasal Kontroversial

Untuk pasal-pasal yang dianggap kontroversial, mari kita bedah secara jernih agar tampak dimana kekurangan dan dimana kelebihannya. Penulis tegaskan tulisan ini bukan untuk memberikan pembenaran atas pasal-pasal yang ada, tapi untuk membuka cara pandang kita agar lebih sesuai koridor hukum, dan bersuara setelah memahami dan menganalisainya secara objektif.