Pocong Kali Boyong, Mistis Tradisional vs Mesin Modern

Pocong Kali Boyong, Mistis Tradisional vs Mesin Modern
Pocong Kali Boyong, Mistis Tradisional vs Mesin Modern (Foto : )
Malam itu pinggiran Sleman tak lagi bising. Lereng Merapi mulai hening. Kawasan Kali Boyong makin senyap. Jagat niskala menyisih jagat manusia. Manusia pun mengalah. Berdiam di rumah. Detak kehidupan gaib Gunung Merapi menggeliat. Keramat!
newsplus.antvklik.com
- Pada 2006 silam, Mbah Maridjan mengatakan Eyang Merapi sedang punya hajat. Inilah wujud santun masyarakat jawa kepada Sang Bahureksa (Penguasa Gaib) yang sedang punya membangun “keraton”. Gunung Merapi dikenal sebagai pusat pemerintahan alam gaib di Pulau Jawa bagian tengahan. Masyarakat yang hidup di lereng dan kawasan sekitarnya sangat menghormati eksistensi gaib ini. Itulah mengapa, berbagai ritual digelar, dipersembahkan untuk Sang Bahureksa. Boleh jadi ini hanyalah mistisme. Boleh percaya boleh tidak. Tapi inilah kepercayaan sebagian masyarakat jawa bagian tengahan. Dari sinilah, muncul berbagai mitos, legenda, mistik yang kemudian menjadi “kenyataan”. Jika menilik judul di atas, ada hal menarik yang bisa kita bedah antara mistisme tradisional versus mesin-mesin modern terkait eksistensi keraton gaib Merapi. Keluasan berpikir tentu dibutuhkan untuk memahaminya. Pocong Kali Boyong Begini, pada suatu malam, beberapa pemuda mendatangi Kali Boyong. Mereka mencoba menguji kemampuan spiritual. Namanya juga anak muda, apalagi baru belajar mengolah batin dan tenaga dalam. Mereka mencoba "melihat" keraton Merapi dari lereng selatan. Tampak tembok serupa benteng menjulang tinggi, melingkari sepertiga puncak merapi. Salah satu yang usil mencoba kemampuan tenaga dalam dengan menembakkan energinya (tenaga dalamnya) ke benteng itu. Beberapa pukulan tenaga dalam nampaknya mengusik para penghuni merapi. Tidak lama berselang lama, ratusan titik-titik putih terbang menghampiri mereka dengan cepat. Mereka menunggu, apa gerangan titik-titik putih yang terbang itu? Ternyata, ratusan pocong mendekati mereka! Tanpa dikomando, 6 pemuda itu kocar-kacir bergegas lari masuk mobil. Mobil pun dipacu secepat mungkin menjauhi kawasan Kali Boyong. The Lost Book @kisahtanahjawa mencatat, ada satu pocong yang legendaris. Pocong Merah! Dulunya ia adalah seorang dukun ilmu hitam yang dibunuh masyarakat sekitar sana. Tubuhnya dipotong-potong. Dimutilasi! Usai dimutilasi, anggota badan dukun itu dikumpulkan dalam selembar kain kafan. Kain kafan itu pun menjadi basah oleh darah, merah warnanya. Kemudian dikuburkan ia di hutan pinus tepi Kali Boyong. Kejadian itu terjadi dalam rentang waktu sekira tahun 1900-1920. Ribuan pocong yang terus menjaga Kali Boyong, kini jadi cerita berseri. Dituturkan dari mulut ke mulut, generasi ke generasi. Kali Boyong menjadi kali wingit. Keramat. Garis Imajiner, Jalur Pasukan Keraton Gaib Boyong dan Code memiliki keunikan karena seperti garis imajiner dari utara ke selatan, yang menghubungkan antara Merapi, keraton, dan Parangtritis, berada di pantai selatan laut Jawa. Kali Boyong adalah sungai berhulu Merapi, yang membentang dari Gunung Merapi dan membelah Kota Jogja. Kali Boyong adalah aliran sungai yang berada di wilayah Kabupaten Sleman, sedangkan aliran sungai itu setelah masuk Jogja dinamai Kali Code. Di Jogja, Kali Code terkenal menjadi jalur lintasan Lampor (rombongan pasukan ghaib dari Pantai selatan menuju Merapi ataupun sebaliknya) Di daerah Gondolayu (sebelah timur Tugu) sekitar tahun 1950an ada seorang kakek-kakek yang tinggal di tepi Kali Code bertutut pernah mendengar suara gemrincing kereta beserta derap kuda. Ia pun bergegas memukul kentongan titir bertalu-talu. Masyarakat sekitar sudah paham. Mereka bergegas masuk rumah dan menutup pintu rapat-rapat. Mereka meyakini jika sampai rombongan Lampor berhenti di kampung mereka, yang terjadi adalah serbuan penyakit bahkan kematian. Mistis Tradisional vs Mesin Modern Lalu apa korelasi mistisme tradisional ini versus mesin-mesin modern terkait eksistensi keraton gaib Merapi? Merapi dipercaya melimpahkan rejeki kesuburan dan hasil buminya untuk masyarakat yang hidup di lerengnya. Namun ada satu syarat, tidak boleh serakah! Ini pernah ditegaskan Mbah Maridjan bahwa para penambang pasir yang menggunakan alat-alat berat adalah serakah. Inilah yang membuat murka Sang Bahureksa. Gelontoran modal untuk meraup untung dari pasir dan bebatuan Merapi tidaklah sedikit. Alat berat turun ke kali-kali. Ratusan truk merayap di lembah-lembah sepanjang Kali Boyong. Apa yang terjadi? Wong cilik modal pacul habis dilibas. Bagaimana para penambang pasir tradisional ini melawan? Mistisme! Segala cerita ataupun kesaksian mistis jadi alat perlawanan. Mereka hanya berharap Merapi berpihak. Menggilas mesin-mesin modern. Menggulungnya hancur. Sedangkan para manusia penggerak mesin dan semua antek-anteknya, ditulah kualat. Diberesi para pocong Kali Boyong seperti cerita di atas. Tiada tenang hidup mereka hingga Selaras Jagat mereka sepakati. Ya, selaras jagat adalah kearifan masyarakat jawa menjaga harmoni yang nampak maupun yang tidak nampak. Sekala dan Niskala! Itulah mengapa masyarakat jawa akrab dengan berbagai ritual seperti sedekah bumi, sedekah laut, grebeg dan banyak ritual lainnya.