Gunung Kawi Antara Mistik, Mitos dan Calo Pesugihan

Antara Mistik, Mitos dan Calo Pesugihan Gunung Kawi
Antara Mistik, Mitos dan Calo Pesugihan Gunung Kawi (Foto : )

“Maksudmu?” “Sama-sama jadi tempat tinggal makhluk yang nampak maupun tidak nampak, Mbah.” “Iya Kong, sama-sama jadi perpustakaan jagat babad misteri dan legenda maupun mitos.” Jadi, ceritanya gini, Kong ... Mbah Sastro tiba-tiba terdiam. Angin berhembus kencang. Petir bersahutan.

Go Kong celingukan sambil bergumam,”Ada apa ini?!” “Gundala si Putra Petir tadi lewat di atas rumah. Lagi syuting dia. Sebentar lagi filmnya mau tayang di bioskop-bioskop di Indonesia, Kong.”

Mbah Sastro menjelaskan. Asal-usul Keramat Gunung Kawi “Balik lagi ke Gunung Kawi, Mbah,” desak Go Kong. “Ya. Gunung Kawi ini punya asal usul keramatnya. Setelah Pangeran Diponegoro ditangkap di Magelang pada 1830 maka berakhir pula perang Jawa. Para pengikutnya mengungsi jauh ke pedalaman Jawa bagian timur dan selatan. Termasuk pula Eyang Jugo atau Kyai Zakaria yang adalah anak Pangeran Diponegoro.”

“Sebentar, Mbah …,” Go Kong menatap jauh ke ujung sawah seberang rumah. Bai Su Zhen (Pai Su Chen) si ular putih lewat meliuk menggetarkan tanah. Go Kong bersiap melompat mengejarnya namun ditahan Mbah Sastro. Go Kong menurut.

“Dikisahkan, Eyang Jugo melakukan perjalanan ke negerimu, Kong. Di sana dia bertemu seorang perempuan hamil yang kehilangan suaminya. Lalu Eyang Jugo membantu mencukupi kebutuhan hidupnya. Ketika Eyang Jugo hendak kembali ke Pulau Jawa, dia berpesan dua hal kepada janda itu. Pertama, jika anaknya lahir hendaknya diberi nama Tamyang.

Artinya, rumpun bambu langka atau istimewa sebagai penolak segala mara bahaya. Kedua, jika sudah besar kelak disuruh datang ke Gunung Kawi di Pulau Jawa.” Mbah Sastro menghela nafas, teringat Zhang Zi Yi, mantan kekasihnya nan jelita. “Pada era tahun 1940-an, datanglah Tamyang ke Gunung Kawi. Tidak bertemu Eyang Jugo karena beliau telah wafat.

Tamyang hanya menemukan makamnya. Tamyang ingin membalas jasa dengan cara merawat makam Eyang Jugo dan membangun tempat berdoa bernuansa Cina.” “Sejak itulah, ramai peziarah terutama keturunan Cina, mengunjungi Gunung Kawi, ke makam Eyang Jugo. Banyak yang mencari pesugihan, sedikit yang belajar bagaimana menjadi bijak seperti Eyang Jugo.” “Waktu terus berlalu.