Saiful Mujani: Ide Penundaan Pemilu dan Perpanjangan Jabatan Presiden Bertentangan dengan Aspirasi

Saiful Mujani: Rakyat Puas Kinerja Presiden, Tapi Tolak 3 Periode (Foto : Tangkap Layar)

Antv – Isu penundaan Pemilu yang mencuat beberapa bulan terakhir ini cukup meresahkan publik, pasalnya wacana ini dianggap melanggar konsitusi. Namun sejauh mana isu penundaan Pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden dapat bertentangan dengan aspirasi rakyat?

Menurut hasil release terbaru survei yang digagas oleh Profesor Saiful Mujani, Kamis (29/12/2022), ia menilai gagasan yang dilemparkan oleh Ketua MPR RI Bambang Soesatyo yang mengajak untuk berpikir kembali tentang pemilu 2024 dengan dalih kinerja Presiden Jokowi dinilai bagus oleh rakyat pada umumnya.

Padahal semua sudah berpikir tentang Pemilu 2024. KPU sudah terbentuk dan sudah bekerja. Partai-partai politik sudah diverifikasi dan sudah diketahui partai mana saja yang lolos untuk menjadi peserta pemilu.

“Bahwa konstitusi menyatakan hanya dua periode, ya itulah yang ditaati oleh masyarakat. Inilah yang disebut sebagai demokrasi konstitusional, bahwa demokrasi kita didasarkan pada konstitusi dan aturan-aturan yang berlaku,” tegasnya melalui kanal YouTube SMRC TV.

SMRC memiliki data tren tingkat kepuasan publik pada kinerja Presiden Jokowi sejak 2015. Tingkat kepuasan publik pada kinerja Jokowi cenderung mengalami penguatan.

Pada periode kedua, tingkat kepuasan ini rata-rata 70 persen. Pada survei terakhir di bulan Desember 2022, tingkat kepuasan publik pada kinerja presiden Jokowi 74,2 persen.

“Ini peristiwa yang sangat penting bahwa presiden Jokowi memiliki approval rating yang sangat tinggi,” jelas pendiri SMRC tersebut.

Ketua MPR, Bambang Soesatyo, dan Ketua DPD, La Nyalla Mattalitti, memiliki pandangan bahwa sebaiknya pemilu 2024 ditunda ke 2027 karena banyak tantangan dan terbukti kinerja Jokowi selama ini baik.

Opsi kedua adalah pemilu 2024 tetap, tapi Jokowi diberi kesempatan untuk kembali mencalonkan diri sehingga mengubah konstitusi tentang jabatan presiden menjadi tiga periode.

Saiful melihat posisi Bambang Soesatyo sebagai ketua MPR yang memiliki wewenang mengubah Undang-undang Dasar sehingga posisinya sangat penting.

Oleh karena itu, menurut Saiful, pandangan Ketua MPR tersebut perlu dibahas.

Pandangan Bambang dan La Nyalla tersebut, menurut Saiful, tidak mencerminkan aspirasi publik.

Saiful menyatakan bahwa di satu sisi, kinerja presiden Jokowi memang bagus. Tapi apakah bagusnya kinerja Presiden Jokowi itu membuat publik menginginkan agar dia dikasih wewenang untuk kembali berkuasa dengan mengubah konstitusi atau dikasih tambahan kekuasaan tiga tahun lagi.

Dalam konstitusi tertulis bahwa presiden menjabat selama lima tahun. Dan kembali bisa dipilih untuk periode berikutnya hanya satu kali.

Karena itu, kata Saiful, jika ingin menambah periode jabatan tiga tahun tanpa dipilih oleh rakyat, itu jelas harus mengubah konstitusi.

Saiful bahkan menyebut ide penambahan durasi kekuasaan itu adalah makar.

“Ide ini (penambahan kekuasaan tiga tahun), bagi saya, agak makar karena bertentangan dengan konstitusi yang jelas-jelas membatasi kekuasaan,” kata Guru Besar Ilmu Politik Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta tersebut.

Survei SMRC pada Mei 2021, September 2021, Maret 2022, dan Oktober 2022 menunjukkan mayoritas publik ingin mempertahankan ketentuan masa jabatan presiden hanya 2 kali dan masing-masing selama dua tahun.

Dalam empat kali survei tersebut, rata-rata 77 persen publik yang ingin ketentuan itu dipertahankan, sementara yang ingin mengubahnya hanya 13 persen.

Saiful menjelaskan bahwa dari 13 persen yang ingin perubahan, mayoritas mereka menginginkan masa jabatan presiden justru dipersempit, bukan ditambah lebih dari dua kali.

Menurut Saiful, data ini menunjukkan fenomena yang menarik. Di satu sisi rakyat memuji kinerja Presiden Jokowi.

Tapi di sisi yang lain, prosedur pemilu, demokrasi, dan pembatasan kekuasaan juga dipegang oleh masyarakat.

Kinerja presiden yang dinilai baik bukan berarti bahwa dia harus terus berkuasa. Survei ini juga menunjukkan mayoritas warga, 59 persen, tidak setuju atau sangat tidak setuju Presiden Jokowi kembali menjadi calon presiden untuk ketiga kalinya di pemilihan 2024 nanti. Yang setuju hanya 36 persen dan yang tidak punya sikap 6 persen.

Dalam tabulasi silang, ditemukan bahwa baik yang puas maupun yang tidak puas pada kinerja presiden, mayoritas menginginkan agar ketentuan masa jabatan presiden dua kali dan masing-masing selama lima tahun dipertahankan.

Dari 69,6 persen yang mengaku puas dengan kinerja presiden Jokowi (dalam 4 kali survei), 76 persen menginginkan masa jabatan presiden 2 kali masing-masing 5 tahun dipertahankan. Yang menyatakan harus diubah 14 persen, yang tidak jawab 9 persen.

“Itu adalah jalan menuju otoritarianisme,” kata Saiful.

Namun demikian, Saiful mengingatkan bahwa ada elite lain yang memiliki aspirasi berbeda.

Mereka tidak mayoritas, umumnya diwakili oleh partai-partai di luar pemerintah, yaitu partai Demokrat dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS).

Jika PKS, Demokrat, dan Nasdem tidak sepakat, maka amandemen konstitusi tidak akan mudah dilakukan. Dalam hal ini, Presiden bahkan masih bisa mengeluarkan dekrit tentang hal tersebut.

“Bagi siapa pun yang memiliki komitmen terhadap demokrasi konstitusional kita, kita harus waspada tentang hal ini,” pungkasnya.