FRUSTASI SARENGAT, BERBUAH EMAS ASIAN GAMES

sarengat-0
sarengat-0 (Foto : )

www.antvklik.com  - TAK  ada yang menyangka dan memperhitungkan, jika pelari Indonesia, Mohammad Sarengat mampu mencetak prestasi yang fenomenal di Asian Games 1962. Merebut medali emas lari 100 meter dengan catatan waktu 10,5 detik, memecahkan rekor lama, Abdul Khalik (Pakistan) 10,6 detik. Rekor Sarengat sebagai “Manusia Tercepat Asia” bahkan bertahan 22 tahun sebelum dikoreksi pelari Indonesia lain, Purnomo Muhammad Yudhi, 10.3 detik di Olimpiade 1984. Hebatnya lagi, Sarengat, juga merebut emas nomor 110 meter lari gawang, perunggu di nomor 200 meter, sekaligus memulai era “Medali Emas”, setelah di Asian Games 1951, 1954, dan 1958 Indonesia adalah “spesialis” medali perunggu. “Zaman Keemasan” dibuka Sarengat. Saking terkesimanya, Presiden Soekarno saat itu membuat gurauan, Stadion Gelora Senayan yang megah ini dibangun untuk jadi saksi kehebatan Sarengat. Sarengat, yang saat itu berusia 21 tahun sama sekali tak menyangka, mampu mencatat rekor yang bersejarah itu. Latihan dengan fasilitas seadanya, tak ada try out, atau catatan rekor dari kejuaraan internasional sebelumnya. Yang mengejutkan, pilihannya menekuni cabang atletik, sebetulnya berawal dari rasa frustasi.  Sarengat, yang lahir di Banyumas, Jawa Tengah, 28 Oktober 1939 awalnya menekuni olahraga tenis, mengikuti ayahnya, Prawirosuprapto. Tenis ditekuni sejak SD-SMP, dan tak membuahkan hasil. Sarengat pun berpindah ke sepakbola, saat SMA mengikuti pamannya, Mursanyoto, Kiper Timnas Indonesia era 1950-an. Bermain sebagai kiper, Sarengat akhirnya direkrut Klub Indonesia Muda Surabaya.  Awalnya bangga, namun sepakbola kembali membuatnya frustasi, karena Sarengat lebih sering duduk di bangku cadangan.  Tak ingin frustasi kembali berlarut, Sarengat kembali pindah haluan mengkuti olahraga lari, hingga akhirnya memenangi kejuaraan nasional di Surabaya. Sarengat pun dipilih mengikuti pelatnas Olimpiade 1960. Kemampuannya terasah dan berbuah prestasi fenomenal di Asian Games 1962. Namun pada tahun 1963, Sarengat memilih mundur dari arena atletik. Mundur dari Kejuaraan Ganefo (Games Of The New Emerging Forces) dengan alasan beralih fokus ke pendidikan. Jenjang SMA harus tiga kali ujian ulang, karena sering ditinggal pelatnas. Selepas SMA karena tak punya biaya, Sarengat masuk Akademi TNI AD, diterima dan mendapat bea siswa kuliah di Fakultas Kedokter Universitas Indonesia (UI) hingga lulus 1971. Pensiun dengan pangkat kolonel, Sarengat sempat menjadi dokter pribadi Wakil Presiden Sultan Hamengkubuwono IX (1973-1978) dan Adam Malik (1978-1983).

Selepas itu Sarengat, kembali menekuni olahraga dengan menjabat sebagai Ketua Bidang Pembinaan dan Prestasi PB PASI (Persatuan Atletik Indonesia) dan menjadi Sekjen KONI Pusat 1986-1990, Direktur Operasional Gelora Bung Karno, bahkan juga sempat menjadi anggota MPR tahun 1987. Mohammad Sarengat, yang menikah dengan Nanik Supatmiani, dan memiliki 3 putra, meninggal dunia 14 Oktober 2014 lalu di usia 75 tahun. Namanya diabadikan jadi nama Stadion M Sarengat, di Kabupaten Batang, Jawa Tengah. Ketua Umum PB PASI Bob Hasan mengenang Dokter Sarengat, sebagai salah satu contoh atlet yang baik. Berprestasi di lapangan, pendidikan, dan karier. “Sarengat adalah contoh teladan buat para atlet, dia berprestasi di bidang yang ditekuninya dengan fokus. Semoga bisa jadi inspirasi buat para penerusnya,” ujar Bob sambil berharap para penerusnya bisa membuat kejutan di Asian games 2018 nanti seperti Sarengat dulu. Sarengat, juga tak pernah diprediksi menorehkan catatan prestasi yang fenomenal itu. Namun dengan keyakinan dan kerja keras, semua bisa bisa diraih.

Selepas Sarengat, meraih medali emas di Asian Games 1962, Atletik Indonesia baru bisa kembali meraih medali emas di Asian Games Bangkok 1998, lewat pelari putri, Supriati Sutono, di nomor 5.000 meter. Emas ketiga cabang atletik Indoneesia, kembali direbut tak terduga oleh Maria Natalia Londa, di nomor lompat jauh Asian Games 2014 lalu. Seperti halnya Sarengat dan Supriati, Maria juga tak diprediksi bisa meraih emas empat tahun lalu. Atlet asal Bali yang akan kembali jadi andalan di Asian Games 2018 nanti, mampu meraih lompatan terbaik sejauh 6,55 meter, menungguli atlet Vietnam, Bu Thi Thu Thao, dan Cina, Jian Yangfei. Maria Nathalia Londa, kini berusia 28 tahun , dan sukses meraih 2 medali emas di Sea Games 2015, diharapkan kian berkembang di Asian Games 2018 mendatang bersama atlet senior lain seperti Triyaningsih yang masih diandalkan di usianya yang ke 30 tahun saat ini. Triyaningsih dijuluki “Ratu Jarak Jauh”, karena dalam 5 Sea Games Terakhir mampu meraih 5 medali emas nomor 10 000 meter dan 4 emas 5.000 meter. Dominan di level ASEAN Sea Games, Triyaningsih berharap bisa memperbaiki posisinya dari peringkat-4, Asian Games 2014. Selain Triya dan Maria, PASI juga masih punya Agus Prayogo dan Hendro di nomor jarak jauh, atau Emilia Nova, spesialis lari gawang putri, dan tentunya Yaspi Boby penerus Sarengat di nomor 100 meter putra.  Dengan catatan waktu terbaik 10,39 detik, Yaspi kini adalah pelari tercepat Indonesia. Di Asian Games 2018 nanti pelari asal Sijunjung, Sumbar itu pasti akan bertemu dengan pelari cepat lain seperti Su Bing Tian dan Xie Zhenye dari Cina, atau pelari Jepang Tada Suhei. Ketiganya memiliki catatan wakti terbaik, 9,9 detik di nomor 100 meter. Semoga dari 16 atlet yang dipersiapkan PB PASI ke Asian Games 2018 ada yang bisa membuat kejutan prestasi di level Asia. Bermain di kandang sendiri dan dukungan penuh suporter, semoga memori kejayaan Kontingen Indonesia di Asian Games 1962 Jakarta, yang mampu merebut peringkat 2 klasemen umum bisa terulang. Mungkin tak harus sama, namun setidaknya level kualitas atletik kita melesat di kelas Asia, menatap Olimpiade 2020.