HUT Kelompok Usaha Bakrie ke-78, H. Achmad Bakrie Sosok Taipan Pribumi

HUT Kelompok Usaha Bakrie ke-78, H. Achmad Bakrie Sosok Taipan Pribumi (Foto Kolase)
HUT Kelompok Usaha Bakrie ke-78, H. Achmad Bakrie Sosok Taipan Pribumi (Foto Kolase) (Foto : )
Pernah dengar gajah masuk sekolah? Itulah dulu yang dikhawatirkan A.R. Soehoed, ketika ia masih sekolah di HIS Menggala, Lampung. Namun Menteri Perindustrian RI tahun 1978-1983, itu lebih memfokuskan ceritanya tentang H. Achmad Bakrie, sahabat sekaligus teman se-“almamater”-nya di HIS tadi.Di perbukitan Menggala itu terdapat dusun kecil namanya Ujung Gunung. Ayah A.R Soehoed kepala kantor Pos Menggala waktu itu, bermukim di situ bersama sejumlah “elit” Menggala.Tak jauh dari Ujung Gunung mengalir sungai Tulang Bawang, yang waktu itu sebuah dermaga kecil hingga kapal KPM (Koninglijke Paketvaart Maatschappi) bisa berlabuh. Di daerah aliran sungai itulah para saudagar Menggala menetap, termasuk keluarga H. Achmad Bakrie.Meskipun terpencil, desa Menggala di tahun 1920-an sangat masyhur dengan kekayaan flora dan faunanya di mancanegara.Gajah, harimau, dan berbagai jenis ular berbisa dari Menggala misalnya, antara lain dikirim ke Taman Margasatwa Hamburg (Hagenbeck Tierpark, ed.).Hasil buminya seperti kopi, lada hitam, cengkih dan rupa-rupa hasil hutan di Menggala ini adalah komoditas andal propinsi Lampung sejak dulu. Namun tak jelas betul kemana, di akhir tahun 50-an pelabuhan di aliran Sungai Tulang Bawang itu menghilang begitu saja. Padahal di belakang dermaga alias pelabuhan kecil tadi adalah tempat ekonomi rakyat dan para pedagang yang barang dagangannya keluar-masuk lewat pelabuhan itu.Keadaan perdagangan marak betul. Malah ada toko ABC segala. Bila sebuah kapal menyandar, anak-anak kampung “menyerbu” pelabuhan yang waktu itu disebut “boom”. Mereka menjadi saksi kesibukan para saudagar dan petinggi Belanda hilir mudik.Transportasi darat belum ada hingga ke sentra perdagangan itu mesti berjalan kaki sejauh 1,5 km. Karena siklus kehidupan sosial tidak begitu kompleks. A.R. Soehoed yang lebih muda tidak merasa canggung bergaul dengan H. Achmad Bakrie, empat tahun lebih tua dari A.R. Soehoed. Hanya A.R. Soehoed tahu diri :
”Achmad Bakrie terus saja saya panggil abang sampai akhir hayatnya.”
Latar belakang keluarga pun bukan penghalang jalinan perkawanan mereka, ayah Soehoed ambtenaar dan ayah Achmad saudagar. Mereka biasanya menangkap ikan bersama.Bahkan saat Sungai Tulang Bawang banjir kami “nangkap ikan dari jendela rumah,” kenang A.R. Soehoed. Beraninya mereka pun sesekali memburu ular, atau sekedar ke hutan mencari pena buat latihan menulis Arab-Melayu. Keduanya sangat menghormati guru mereka di HIS, Tuan Husar.Tulang Bawang ikut mempengaruhi jalan hidup Achmad Bakrie. Terutama di belakang “boom” tadi. Apalagi di HIS menyediakan kebun kecil buat mengenal jenis-jenis tanaman dan praktek bercocok tanam, yang tentu menggelitik rasa kemandirian.Sebagai adik kelas, A.R. Soehoed merasakan betul kemampuan persuasi Achmad Bakrie, sayang keduanya berpisah, karena si “adik” harus mengikuti ayahnya yang dimutasikan ke tempat lain.Kontak mereka terjadi kembali setelah Proklamasi Kemerdekaan, namun baru setelah A.R. Soehoed lulus dari Technische Hogeschool Bandung (kini ITB) pada 1951, keduanya pun agak sering bertemu. Padahal jauh sebelumnya, yakni pada masa pendudukan Jepang, nama Bakrie & Brothers telah sampai ke telinga A.R. Soehoed. la memang mengaku belum yakin betul itu milik “abangnya.” Apalagi ada nama-nama kesohor yang lain seperti Djohan Djohor, Dasaad Musin dan Rahman Tamin.[caption id="attachment_281771" align="aligncenter" width="900"] Mantan Menteri Perindustrian A. R. Soehoed sudah sejak di Menggala Lampung mengenal Achmad Bakrie, ketika mereka bersekolah di HIS sekitar akhir tahun 20an (Foto Dok. Perpustakaan Bakrie) Mantan Menteri Perindustrian A. R. Soehoed sudah sejak di Menggala Lampung mengenal Achmad Bakrie, ketika mereka bersekolah di HIS sekitar akhir tahun 20an (Foto Dok. Perpustakaan Bakrie)[/caption]Adalah keluarga Yakub Salim, ketua Warung Bon - perkumpulan pedagang beras di Senen untuk menampung produksi petani ketimbang di jual pada perantara non pribumi - meyakinkannya bahwa B & B milik H. Achmad Bakrie. Suatu saat pemerintah orde lama berencana untuk meningkatkan peranan sektor swasta.Ketika itu Menteri Berdikari adalah Dr. TD. Pardede dengan konsep Bamunas. Dari situ lahir beberapa organisasi semacam Gapensi, Gapernas (Inkindo), dan masih ada beberapa lagi. A.R. Soehoed sebagai konsultan saat itu membuatnya sering bertemu dengan H. Achmad Bakrie.Apalagi setelah ia masuk kedalam jajaran birokrasi mulai 1966, ketika ditunjuk menjadi Penasihat Menteri Utama Industri/Pembangunan. Lalu, ketika ia menjabat Wakil Ketua BKPM (Badan Koordinasi Penanaman Modal), Menteri Perindustrian hingga menjabat Ketua Otorita Pengembangan Proyek Asahan, dimana hubungannya dengan H. Achmad Bakrie berlangsung paling intensif.Di masa Orde Baru, mereka sering mengikuti rangkaian seminar yang diselenggarakan CSIS (Central Strategic International Studies) di berbagai kota seperti Jakarta, Denpasar, dan Medan.Seminar yang melibatkan para pengusaha nasional seperti Hasjim Ning dan Ali Nur. Suatu kali ikut seminar di Denpasar. Udara panas betul, perut keroncongan dan mata mulai terkantuk-kantuk. Seketika H. Achmad Bakrie memberi kode supaya satu persatu keluar diamdiam mencari santapan di restoran Padang.Dalam banyak kesempatan berseminar, H, Achmad Bakrie tidak pernah mau bertanya atau pun menanggapi para pembicara. H. Achmad Bakrie yang dikenalnya adalah seseorang yang tidak pernah berubah, mendadak menjadi sombong atau sok. Selalu saja menghubungi rekan-rekannya untuk berkumpul atau bersuka cita.“Oh, spesial, saya disambut seperti raja bukan karena saya menteri, tapi karena hubungan baik,” cerita Soehoed tatkala diundang meresmikan BPI (Bakrie Pipe Industries) di Bekasi, dulu. “Saya bangga seolah-olah turut memiliki,” tambahnya.Kehangatan pribadi H. Achmad Bakrie tidak ditunjukkannya di depan umum. Baru seusai peresmian mereka berfoto-foto dan bercanda ria. Sampai sekarang foto-foto itu tersimpan baik di album A.R. Soehoed.Dalam kenangan lain, suatu kali H. Achmad Bakrie memberi surprise padanya. “Hei, Soehoed, kita makan-makan, yuk. Nanti saya jemput, ya!” ujar Achmad Bakrie dari gagang telepon.Undangan makan rupanya sebagai sarana saja. Seusai makan lantas jalan-jalan melewati Kuningan. “Lihat nama itu?” H. Achmad Bakrie menunjuk tulisan. “Lho, sudah ada kantor?”. Jadi, cara menunjukkan rasa bangganya tidak terkesan sombong, familiar sekali.Masih menjabat Ketua Otorita Asahan, tokoh yang nama lengkapnya Abdoel Raoef Soehoed ini ditemui Achmad Bakrie. Waktu itu produk pipa baja Bakrie mendapat sertifikat standar American Petroleum Institute (API).[caption id="attachment_281772" align="aligncenter" width="900"] Berbincang-bincang dengan A.R Soehoed ketika peresmian Bakrie Pipe Industries Di Bekasi, 1982 (Foto Dok. Perpustakaan Bakrie) Berbincang-bincang dengan A.R Soehoed ketika peresmian Bakrie Pipe Industries Di Bekasi, 1982 (Foto Dok. Perpustakaan Bakrie)[/caption]Bukan main gembiranya H. Achmad Bakrie, betapa pengakuan standardisasi itu semakin meneguhkan terobosannya di bidang industri. Di kala menjabat Menteri Perindustrian, A.R. Soehoed adakalanya berperan membantu pengusaha pribumi termasuk H. Achmad Bakrie, karena selain mereka berprestasi juga menurutnya untuk berlaku adil.Tanpa menyebut nomornya, dalam suatu SK menyiratkan makna bahwa pemerintah berhak demi keadilan “menyimpang” dari peraturan itu. Pada pengusaha non pribumi hal itu pun ditegaskannya secara terang-terangan. Sebab katanya, kalau peraturan dijalankan sebatas kekuatan uang, dengan sendirinya non pribumi saja yang terus menanjak.Tidak banyak kalangan pribumi mempersiapkan dirinya dengan baik di dunia bisnis. H. Achmad Bakrie meyakini harus ada transformasi dan modernisasi cara-cara berpikir dalam organisasi perusahaannya.Dibudayakanlah seminar dan ceramah terbatas di kalangan para manajer dan eksekutifnya dan A.R. Soehoed satu dari sejumlah pakar untuk mengisi kegiatan itu.Antisipasi H. Achmad Bakrie seperti itu menunjukkan dua ciri pokok yang melekat pada dirinya. Pertama, wisdom (kebijaksanaan) pada saat yang tepat untuk bertindak dan mengarahkan orang-orangnya. Kedua, metodik. Artinya ia pandai membaca keadaan dan kemampuan institusinya dengan menentukan arah seberapa cepat untuk mencapainya.“Dia bukan pemurung dan tak suka menggerutu. Biarpun nggak kena, dia masih bisa tertawa. Sifatnya fair to fight, menang syukur, kalah nggak apa-apa. Dia tidak pendendam,” ungkap lelaki tinggi besar itu.Sedangkan kepedulian pada bidang politik, lanjutnya, cuma ala kadarnya. Tidak ada sifat keberpihakan pada suatu kekuatan sosial politik tertentu alias independen.“Dalam orde apa saja (lama dan baru, pen.) untuk berdiri independen, sudah barang tentu memerlukan keberanian,” tambahnya.H. Achmad Bakrie sepanjang yang dikenalnya adalah pribadi yang kuat, tidak mudah terpengaruh, tidak membeberkan keberhasilannya ke mana-mana. Terkadang untuk menyakinkan sesuatu itu benar dikomunikasikannya secara senda gurau.Kendati banyak orang tidak memahami jalan pikirannya sewaktu memasuki industri pipa baja dan seamless, H. Achmad Bakrie berhasil menyakinkan diri dan orang lain bahwa yang dilakukannya adalah bidang strategis.“Lantaran industri minyak memerlukannya dan belum ada yang memikirkannya. Intuisinya seolah-olah mengatakan negara bakal maju.” Pandai menjaga ikatan persahabatan, tidak banyak mengeluh, dan dia selalu tampil prima. A.R. Soehoed mengibaratkan H. Achmad Bakrie “taipan” pribumi.