Antv – Kabar duka itu cepat menyebar melalui Whatsapp, Facebook dan Instagram. Wartawan senior, Direktur News and Sport Center ANTV, H. Azkarmin Zaini berpulang, Jumat 5 Januari 2024 pukul 13.38 WIB di RS Mayapada Lebak Bulus, Jakarta Selatan pada usia 77 tahun.
Siapapun yang mengenal pribadinya sepakat menyebutnya sebagai orang baik, sopan, tak banyak bicara, sangat jauh dari kesan sombong. Padahal pengalamannya terentang panjang, dengan jabatan mentereng.
Lelaki kelahiran Payakumbuh, Sumatera Barat, 13 Juni 1946 dan dibawa orangtuanya merantau ke Jakarta ketika berusia empat tahun itu, mengawali karir kewartawanannya sejak tahun 1968 sebagai reporter surat kabar Warta Harian.
Enam bulan menjadi reporter di koran yang didirikan Kosgoro itu, Azka diangkat menjadi redaktur. Beberapa bulan kemudian, Ketua Umum PPK (Pimpinan Pusat Kolektif) Kosgoro, Mayjen Mas Isman, menunjuk Azka sebagai Pimpinan Redaksi Warta Harian. Namun nama Azkarmin Zaini dicantumkan sebagai Wakil Pemimpin Redaksi, karena tidak mudah mengubah Surat Izin Terbit (SIT).
Sehari-hari Azkarmin adalah sosok yang berperan sebagai Pemimpin Redaksi Warta Harian tahun 1968-1970. Azka dapat jatah kendaraan dinas sebuah skuter Lambretta bekas. Waktu itu usianya 23 tahun!
Azkarmin pernah dipanggil menghadap Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib) Jenderal Soemitro, lantaran dia memprakarsai publikasi “Seri Foto Sejarah Perjuangan Bung Karno” di halaman I Warta Harian.
Sang Jenderal marah dan “memerintahkan” penghentian pemuatan seri foto Bung Karno yang ketika itu sudah bukan presiden lagi. Tapi Azka membandel dan melanjutkan penerbitan Seri Foto Sejarah Perjuangan Bung Karno.
Warta Harian berhenti terbit pada awal 1971, Azka diajak Jakob Oetama untuk bergabung ke Kompas. Meskipun berteman, tetapi proses masuknya tetap lewat lamaran.
Azka harus memasukkan surat lamaran ke kantor Kompas di Jalan Gajah Mada dan melalui semua proses rekrutmen. Azka diwawancarai pendiri sekaligus Pemimpin Umum Kompas Petrus Kanisius Ojong, yang ternyata juga sama-sama orang Payakumbuh!
Azka menjadi wartawan Kompas sejak April tahun 1971 sampai dengan tahun 1990. Dia menapaki karirnya dari bawah lagi sebagai reporter, lalu dipercaya menjadi redaktur daerah, hingga terakhir menjabat sebagai sekretaris redaksi yang mengurusi semua hal di luar aspek redaksional.
Sejak 1 Januari 1990, Azka pindah kerja ke lingkungan Grup Bakrie mengelola usaha di bidang media massa sebagai Direktur PT Usaha Media Massa Nusantara, dan mengembangkan Harian Pelita sebagai Pemimpin Redaksi.
Selanjutnya, Azka mendirikan ANTV dan menjabat sebagai Pemimpin Redaksi sejak berdiri tahun 1993-2005 dan pada tahun 2007-2010, dan terakhir menjabat Direktur News and Sport Center ANTV.
Melalui tangan dinginnya, lahir program berita dan informasi dengan kekhasan tersendiri ketika ANTV menginjak usia 3 tahun, seperti: Halo Indonesia, Cakrawala, dan Lensa Olahraga.
Halo Indonesia menyapa pemirsa pagi hari menyajikan berita-berita hasil liputan malam ketika pemirsa beristirahat tidur. Cakrawala yang tayang petang menitikberatkan pada berita-berita aktual mulai dari liputan metropolitan, kriminalitas, polhukam, dan sosial-budaya. Sedangkan Lensa Olahraga menyajikan berita olahraga, baik dalam maupun luar negeri.
Pada awal Masa Reformasi 1999 di era pemerintahan Presiden BJ Habibie, Azkarmin Zaini dan Manajer Pemberitaan ANTV, Bachtiar, diperiksa di Mabes Polri karena menayangkan wawancara Komandan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) Tengku Abdulah Syafi'i.
Azka ditetapkan sebagai tersangka karena dianggap mengancam keamanan nasional menurut Pasal 64 UU No. 24/1997 tentang Penyiaran dan terancam hukuman penjara maksimal tujuh tahun penjara atau denda Rp700 juta.
Pihak ANTV menyatakan bahwa wawancara itu merupakan bagian dari laporan jurnalistik yang berimbang dan menampilkan kedua pihak yang terlibat konflik, seperti dituntut dalam etika profesi.
Di saat yang bersamaan DPR sedang menggodok RUU Pers, dimana Azkarmin bersama Atmakusumah Astraatmadja dan S.L. Batubara mewakili pihak pers untuk menghilangkan draft pasal-pasal yang rentan dipergunakan untuk membungkam pers. Ketiga tokoh pers itulah yang berjuang mengegolkan UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers.
Di tengah berbagai kecaman dan semangat reformasi kasus hukum terhadap ANTV akhirnya menguap di tengah jalan.
Sepanjang kariernya di dunia jurnalistik, Azkarmin Zaini telah menerbitkan dua buku berjudul Pengalaman Haji di Tanah Suci di tahun 1975 dan juga buku Pengalaman Haji Zaman Muassasah pada tahun 1987.
Selain itu, Azka adalah salah satu pendiri sekaligus mantan Ketua Dewan Kehormatan Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) di tahun 1998.
Pada pertemuan di kantor ANTV, Gedung Sentra Mulia Lantai 18, Kuningan, Jakarta Selatan, 30 Juni 1998, Azka menekankan bahwa yang dibutuhkan wartawan adalah organisasi yang memiliki kekuatan menegakkan etika jurnalistik dan melindungi anggotanya, bukan sekadar forum komunikasi.
Azkarmin juga anggota Dewan Pers angkatan pertama yang dibentuk tahun 2000, bersama dengan Jakob Oetama, Surya Paloh, Zainal Abidin Suryokusumo, Atmakusumah Astraatmadja dan Benjamin Mangkoedilaga (karena menjadi hakim agung, Benjamin lalu digantikan oleh Bachtiar Aly).
Di tahun 2010 nama Azkarmin Zaini menjadi salah satu wartawan senior yang mendapatkan sertifikat ahli pers dari Dewan Pers. Dimana para pemegang sertifikat ini bisa mewakili Dewan Pers dalam perkara pers sebagai seorang ahli pers.
Kedekatan Azkarmin Zaini dengan Keluarga Bakrie
Azkarmin Zaini mungkin tidak akan pernah mengenal Haji Achmad Bakrie andaikata tidak berteman akrab dan satu sekolah dengan Aburizal, putra sulung keluarga Haji Achmad Bakrie, di SMA III/Teladan B Negeri, Jalan Setiabudi pada tahun 1961-1964. Azka dan Ical, nama panggilan Aburizal Bakrie, sebetulnya cuma satu angkatan, tidak pernah sekelas.
Namun di luar sekolah, keduanya berteman akrab. Bersama empat teman lainnya, Azka dan Ical belajar bersama, latihan pencak silat, nonton bioskop, mendengarkan piringan hitam, sesekali pergi ke pesta dansa, main band, serta berlibur dan menginap di rumah peristirahatan keluarga Bakrie di Cibulan, Jawa Barat.
Menurut pengakuannya dalam buku Acmad Bakrie - Sebuah Potret Kerja Keras, Kejujuran dan Keberhasilan, Azka mengaku rumah keluarga Bakrie sudah serasa rumahnya sendiri. Makan di rumah itu dengan seluruh keluarga Bakrie lengkap, menjadi hal yang biasa.
Azka juga dekat dan akrab dengan putra-putri Haji Achmad Bakrie lainnya yakni Roosmania Odi Bakrie, Indra Usmansyah Bakrie, dan Nirwan Dermawan Bakrie.
Ayahanda Azka, Abbas Zaini, wafat pada September 1962, saat Azka berusia 16 tahun dan baru saja naik ke kelas II SMA.
Selepas kepergian ayahnya, Azka mulai berpikir untuk tidak melanjutkan sekolah agar bisa sedapat-dapatnya mencari nafkah untuk Ibunda Noerbaidah binti Adam dan kelima adik-adik.
Abbas Zaini pegawai menengah Garuda Indonesian Airways yang mengandalkan pendapatan dari gaji semata, dan tinggal di rumah instansi. Pada masa itu di Garuda belum mengenal sistem pensiun.
Sebagai sahabat, Ical mengetahui hal ini dan mengajak Azka menemui Haji Acmad Bakrie. Haji Achmad Bakrie memotivasi Azka untuk tetap melanjutkan sekolah dan kuliah sampai sarjana.
Setiap tanggal satu, Azka diminta datang untuk mengambil uang bantuan untuk biaya sekolah. Sejak saat itu, setiap tanggal 1 setiap bulan Azka menerima uang dari tangan Ibu Roosniah Bakrie.
Jumlah bantuan yang diberikan ternyata jauh lebih dari cukup untuk uang sekolah dan ongkos. Azka yakin bahwa sebetulnya maksud Haji Achmad Bakrie bukan sekadar membiayai sekolah Azka, melainkan membantu membiayai hidup Azka sekeluarga.
Perasaan risih terus-menerus menerima bantuan menyebabkan Azka sering menghindari hari-hari sekitar tanggal satu. Namun apabila dua-tiga hari setelah tanggal satu Azka tidak datang, selalu saja bantuan bulanan itu diantarkan ke rumah. Kadang oleh sopir keluarga Bakrie, kadang Ical yang mengantarkannya. Itu berlangsung bertahun-tahun.
Risih menerima bantuan terus-menerus, diam-diam Azka berusaha mencari uang sendiri. Azka berhasil diterima menjadi wartawan di surat kabar Warta Harian, sambil berkuliah di Extension Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, setelah keluar dari ATN (Akademi Teknik Nasional) dan sebelumnya di Fakultas Teknik Perkapalan Universitas Bung Karno (UBK), yang ditutup pemerintah pasca pemberontakan G-30-S/PKI.
Kedekatan Azka dekat dengan Haji Achmad Bakrie, tidak serta-merta memudahkan Azka untuk mewawancarai Haji Achmad Bakrie sebagai seorang pengusaha nasional yang sukses.
Butuh waktu 12 tahun bagi Azka untuk meminta kesediaan Haji Achmad Bakrie untuk diwawancara untuk melengkapi tulisan berseri profil pengusaha-pengusaha nasional ternama di Harian Kompas. Haji Achmad Bakrie yang terkenal sangat low profile berkali-kali menolak wawancara, sehingga Azka menggarap tokoh pengusaha lain lebih dulu seperti pengusaha ulet asal Sumatera Utara Dr. Tumpal D. Pardede dan “Raja Mobil” Dr Haji Masagus Nur Muhammad Hasyim Ning.
Sejak permintaan wawancara diajukan April 1973, baru pada 1986 Haji Achmad Bakrie bersedia diwawancara oleh Azka.
Hasil wawancara dengan Haji Achmad Bakrie itu kemudian dimuat di Kompas edisi Minggu 16 Februari 1986.
Tulisan berbentuk kutipan dialog panjang-lebar yang mendapat perhatian luas dari masyarakat pembaca itu ternyata merupakan satu-satunya publikasi yang pernah ada mengenai Haji Achmad Bakrie yang bersumber dari wawancara langsung dengan beliau.
Selamat jalan, Pak Azka. Karya dan jasamu akan selalu dikenang.
-Ngayadi Sumono-