Jangan Paksa Iwan Bule Mundur, Sebab Dia Bukan Albert Camus

Jangan Paksa Iwan Bule Mundur, Sebab Dia Bukan Albert Camus
Jangan Paksa Iwan Bule Mundur, Sebab Dia Bukan Albert Camus (Foto : Dok. PSSI)

AntvBukan tanpa alasan jika Albert Camus, seorang filsuf, penulis dan jurnalis Prancis berdarah Aljazair pernah berkata, "Apa yang sangat pasti saya ketahui tentang moral dan kewajiban, saya berhutang pada sepak bola."

Albert Camus yang pernah meraih Nobel pada tahun 1957 di usia 44 tahun, karena pemikiran dan karya-karyanya, pernah menjadi pemain sepak bola. Dia penjaga gawang junior kampus Racing Universitaire Algerios (RUA) saat kuliah.

Camus bukan pemain hebat yang membuatnya dikenang. Tapi menurut, Jim White, penulis buku A Matter of Life and Death: A History of Football in 100 Quotations, sepak bola telah berhasil mengajari Camus tentang tidak mementingkan diri sendiri, kooperatif, keberanian dan ketangguhan.

Beberapa penggemarnya menganalisa, mengapa Camus berkata begitu. Mungkin itu semua ia dapat dari bawah mistar gawang. Saat menanti bola datang. Maklum, saat itu dia manusia bertalenta filsuf yang bermain bola.

Dapat dibayangkan. Menjadi penjaga gawang adalah panggilan sunyi. Sendiri berdiri seolah terisolasi dalam sebuah skema permainan dan etika tim. Seseorang pemain yang beraksi dengan aturan paling berbeda dengan pemain lainnya.

Camus sadar itu. Namun, ia merasa harus tetap fokus dalam kesendiriannya yang khas. Sambil menanti bola datang yang arahnya sulit ditebak agar tak menjadi gol.

Jika timnya mencetak gol, dia merasa tak memiliki kontribusi. Namun jika lawan menjebol gawangnya, ia merasa semua  kesalahan ada pada dirinya.

Albert Camus sang bijak, punya banyak waktu merenungkan sifat-sifat absurd diposisinya sebagai penjaga gawang. Yang mana itu semua terbawa pada kehidupannya selanjutnya sebagai seorang filsuf dunia.

Ketika berusia 18 tahun, dokter mendiagnosanya terjangkit TBC dan tidak bisa terus bersepakbola jika tak ingin paru-parunya makin rusak. Sejak saat itu,  Albert Camus banting setir, serius menekuni filsafat yang menjadi talenta aslinya.

Lalu, apa hubungannya Iwan Bule, sang Ketum PSSI dengan Albert Camus?

Kita sama tahu, Ketua Umum PSSI sedang dirongrong mundur dari jabatanya akibat Tragedi Kanjuruhan yang menewaskan ratusan  penonton. Akibat produk sistem penyelenggaran pertandingan yang dibuat PSSI lemah pelanggaran dan kurang kontrol. Sehingga gas air mata bebas masuk stadion dan jadi sebab malapetaka.

Insan sepakbola nasional juga banyak yang kecewa dengan PSSI karena dianggap lamban meminta maaf dan mau bertanggung jawab.

Walau akhirnya minta maaf juga dan mau tanggung jawab. Setelah didonder kecaman, hujatan dan kritik oleh hampir sebagian besar insan sepak bola nasional.

Iwan bule dan jajarannya, berlindung di balik Pasal 3d Regulasi Keselamatan dan Keamanan PSSI Tahun 2021. Dengan tegas, sebelumnya Iwan Bule menyatakan, bahwa itu tanggung jawab panpel, bukan PSSI, karena ada aturannya.

Pasal tersebut memang memberi pesan bahwa penanggungjawab setiap kecelakaan, kerusakan, atau kerugian, yang timbul dari pertandingan yang dilaksanakan klub adalah panitia penyelenggara (panpel) dan bukan PSSI.

Namun publik merasa PSSI tidak fair dan tak punya hati dengan seketika  berlindung pada pasal itu. Mengingat Tragedi Kanjuruhan adalah tragedi luar biasa. Tragedi kemanusian. Tragedi kematian penonton sepakbola yang memecahkan rekor dunia untuk tragedi kematian penonton di era sepak bola modern.

Apalagi ketika publik sepak bola teringat  peristiwa saat ada sedikit prestasi, Timnas Indonesia menang atas Kuwait di laga Kualifikasi Piala Asia 2023, bulan Juni lalu. Enteng mereka menulis puja-puji di laman resmi situs PSSI.

Diantaranya tertulis, "Siapa tokoh utama di balik kemenangan hebat Timnas Indonesia atas Kuwait? Jawabannya jelas, Iwan Bule."

Gercep sekali PSSI mengklaim bahwa itu semua karena andil PSSI lewat ketumnya, Iwan Bule. Terkesan semata-mata andil yang lain tipis-tipis saja.
 
Bagaimana kalau prestasinya banyak? "Mungkin, PSSI akan pesta siang-malam sepanjang kepengurusan mereka," kata kolega penulis yang gemes dengan gaya kepengurusan PSSI saat ini.

"Giliran kena musibah, berat banget minta maaf, mengaku salah dan tanggung jawab. Aneh!" tambahnya.

Tapi, sekali lagi, kata maaf dan tanggung jawab PSSI sudah disampaikan. Itu bagus dan menimbulkan respect.

Sekarang giliran kita fokus pada rekomendasi Tim Gabungan Independen Pencari Fakta (TGIPF) pimpinan Mahfud MD yang sudah menyerahkan laporan kerjanya pada Presiden.

TGIPF lewat ketuanya diantaranya merilis rekomendasi bahwa PSSI harus bertanggung jawab atas Tragedi Kanjuruhan. Maka, sudah sepatutnya ketua umum dan seluruh jajaran Komite Eksekutif PSSI mengundurkan diri dari jabatannya sebagai pertanggung jawaban moral.

Wow! Berat sekali narasi TGIPF. Pakai bawa-bawa tanggung jawab moral segala. Mengingat kepengurusan PSSI saat ini, sebelum terjadinya Tragedi Kanjuruhan, sedang enjoy-enjoynya bekerja dan berkiprah karena merasa "banyak prestasi" dan "perubahan" yang dilakukan. Moral pengurus PSSI sedang anteng, tak perlu dimintai tanggung jawab.

Bagaimana kira-kira endingnya? Kongres Luar Biasa (KLB) PSSI macam apa yang akan terjadi? Lalu, sampai kapan para pemain boleh merumput lagi karena kondisi ini? Apakah Iwan Bule dan para pengurus lainnya akan berani mundur?

Episode PSSI dan sepakbola nasional belum akan segera berakhir karena adanya Tragedi Kanjuruhan. Masalah yang perlu dijawab dan diselesaikan masih banyak.

Tapi berharap Iwan Bule memahami nilai-nilai moral yang Albert Camus dapat dari sepak bola boleh, dong? Walau kita tahu konsep nilai moral antara seorang filsuf dan mantan jendral polisi pasti ada bedanya.

Dasarnya universalnya mungkin sama. Tapi ini bicara tentang moral dan kewajiban yang lahir dari permainan sepak bola menurut Albert Camus sang kiper kampus, dan Iwan Bule sang Ketua Umum PSSI yang kerjaannya mengurus sepakbola sebuah negara.

Itulah mengapa jangan paksa Iwan Bule menjadi bijak seperti Albert Camus. Iwan Bule adalah Iwan Bule, alias Mochamad Iriawan. Sementata Albert Camus adalah Albert Camus.  

Kita nantikan saja wisdom macam apa yang akhirnya Iwan Bule putuskan untuk dirinya, khususnya, dan jajaran pengurus PSSI pada umumnya.

Drama PSSI akibat Tragedi Kanjuruhan belum akan cepat berakhir. Publik sepakbola nasional setia menunggu wujud tanggung jawab moral yang dimaksud TGIPF, demi kelangsungan napas sepak bola Indonesia selanjutnya.

Penulis: Yusuf Ibrahim - Wapemred ANTV