Di Tengah Pandemi Covid-19, Ledakan Karhutla juga Mengintai Indonesia

menyemai garam meneg lh kehutanan
menyemai garam meneg lh kehutanan (Foto : )
Di tengah upaya pemerintah mengatasi pandemi Covid-19, ada ancaman lain yang tidak kalah besar, yaitu kebakaran hutan dan lahan atau karhutla. Lalu seperti apa antisipasi pemerintah? 
Dalam rapat terbatas di Jakarta, Selasa (23/6/2020), Presiden Joko Widodo mengingatkan potensi ancaman karhutla. Jokowi menekankan pentingnya penggunaan teknologi untuk meningkatkan pemantauan di berbagai daerah.Jokowi mengutip data Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) yang menyebut 17 persen wilayah Indonesia sudah memasuki musim kemarau pada April. Memasuki Mei, sudah 38 persen wilayah Indonesia yang kemarau.Sementara Kepala Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Doni Monardo mengingatkan asap pekat dari karhutla, khususnya lahan gambut akan meningkatkan risiko terpapar Covid-19."Asap yang pekat bisa timbulkan ancaman kesehatan bagi masyarakat, terutama mereka yang memiliki asma atau ISPA (Infeksi Saluran Pernafasan Akut). Dampaknya adalah berbahaya bagi mereka yang menderita penyakit asma ini apabila terpapar Covid-19," kata Doni.Karena itu Doni meminta kerjasama lebih erat antar seluruh komponen masyarakat di seluruh daerah untuk memitigasi karhutla.

Fase Krisis

Sementara Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar mengatakan, pemerintah telah mengantisipasi potensi ledakan kebakaran hutan dan lahan yang biasa terjadi pada Agustus sampai September."Kita sudah mempelajari baik perilaku iklim maupun perilaku hotspot dan juga waktu-waktu ledakan kebakaran hutan yang rata-rata Agustus pekan kedua, ketiga sampai September pekan pertama," katanya.Menurut Siti, berdasarkan pantauan di Sumatera bagian utara yakni Riau dan Aceh serta sebagian Sumatera Utara, terdapat dua fase krisis.Fase pertama terjadi bulan Maret-April, sedangkan fase kedua Juni-Juli dan seterusnya hingga puncaknya Agustus-September.Karena itu yang dapat dilakukan saat ini adalah dengan melakukan rekayasa hujan melalui teknologi modifikasi cuaca atas analisis BMKG. Rekayasa hujan dilakukan oleh Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) dan didukung oleh TNI Angkatan Udara."Itu bisa dilakukan dan kita sudah melewati fase krisis pertama di Riau," ujar Siti.Dia mengatakan fase pertama sangat penting karena terjadi bersamaan dengan adanya pandemi Covid-19 dan lebaran.Modifikasi cuaca juga akan kembali dilakukan di Kalimantan. Berdasarkan analisa BMKG, hotspot di Kalimantan akan terjadi saat masuk musim kemarau bulan Juli. Puncaknya terjadi pada Agustus akhir hingga awal September."Mudah-mudahan bisa menjadi solusi, dari pada kita memadamkan terus, dengan ini secara sistematis kita persiapkan," kata Siti. Antara