Para Guru Besar Berdiri Bersama Gus Yahya Mengglobalkan Fikih Peradaban

Gus Yahya Mengglobalkan Fikih Peradaban
Gus Yahya Mengglobalkan Fikih Peradaban (Foto : Lembaga Ta'lif Wan Nasyr/Lembaga Informasi, Komunikasi, dan Publikasi PBNU)

Pertanyaannya adalah apakah Piagam PBB sah menurut syariat sebagai perjanjian internasional?

Apakah perwakilan negara itu juga sah mewakili umat Islam di negaranya?

“Presiden sah mewakili umat Islam Indonesia, tetapi Jawaharlal Nehru itu sah nggak mewakili umat Islam India? Mao Tse Tung apakah sah mewakili Islam di China? Kepala negara non-Muslim apakah sah menjadi wakilnya umat Islam?” kata Gus Yahya.

Jika sah, berarti Piagam PBB itu mengikat, baik terhadap entitas, maupun pribadi umat Islam.

“Alhamdulillah jawabannya sah dari segi isinya karena tidak bertentangan syariat, sesuai dengan maqashid syariat,” ujarnya.

Piagam PBB sah dari segi penandatangannya karena melibatkan entitas politik yang sah secara de facto dan de jure.

Mereka sah secara niscaya karena kepala negaranya juga dianggap sah. Walaupun non-Muslim, mereka sah mewakili warga negara Muslim.

Gus Yahya menegaskan bahwa PBB ini sah dengan titik tolak imperatifnya adalah perdamaian secara syariat itu sah. Kalau tidak ada itu, ya tidak ada landasannya. Tanpa landasan itu, kita semua wajib perang.

Tidak ada yang lain yang memperbolehkan kewajiban berperang. Orang-orang itu harus taat kepada syarat-syarat yang dia minta sendiri dalam perjanjian dengan orang lain. Apapun kepentingan yang dimiliki kalau sudah perjanjian itu sudah.

“Isi perjanjiang Piagam PBB itu sendiri lebih bersifat visioner ketimbang sesuatu yang langsung diterapkan. Lebih bersifat visi walaupun sekarang belum bisa sepenuhnya diterapkan,” katanya.

Oleh karena itu, menurutnya, PR bagi semua pihak untuk melanjutkan imperatifnya. Jika Piagam PBB diterima sebagai kesepakatan, maka tentu harus ada imperatif ikutan.

Dalam perspektif Islam, ini sudah ada landasan syariat tentang kenapa kita tidak boleh bermusuhan dengan kelompok yang berbeda, yaitu perjanjian ini.

“Harapannya ke depan, wawasan terkait ini bisa dikembangkan lebih lanjut dan dijabarkan ke dalam berbagai produk akademik yang kita perlukan, termasuk bahan ajar untuk anak-anak kita,” kata Gus Yahya.

“Mulai hari ini bisa kita siapkan untuk anak-anak kita sehingga visi perdamaian bukan hanya mulut manis dari para imam dan pendeta saja, tetapi hidup dari umat beragama,” lanjutnya.