Polemik Iuran BPJS, Arisan Kuburan dan Potongan Syair Kembang Pete

Polemik Iuran BPJS
Polemik Iuran BPJS (Foto : )
Dokter Mariya Mubarika menolak ajakan warganet untuk memboikot BPJS.[/caption]Menurut Mariya, keluhan tersebut bukan soal ongkos pelayanan jasa semata tetapi menyangkut kualitas diagnosis terhadao pasien. Dia mencontohkan biaya yang disediakan BPJS terhadap pasien hanya untuk dua diagnosis untuk mengetahui suatu penyakit. Padahal seharusnya ada empat diagonis. Tentu akan mengurang kualitas pengobatan terhadap pasien.Namun demikian, Mariya tidak setuju dengan ajakan boikot BPJS yang disuarakan warganet setelah ada rencana menaikkan iuran BPJS. Menurutnya, BPJS sangat membantu rakyat untuk berobat. Sedangan masalah defisit dana BPJS juga terkait dengan politik anggaran di DPR. Anggaran untuk subsidi iuran BPJS kesehatan masih terlalu kecil dibanding dengan anggaran untuk subsidi BBM. Padahal, untuk kesehatan tertulis dalam UUD 1945 pasal 28.Pendapat Mariya mewakili kebanyakan suara dokter yang merasa dibayar murah oleh BPJS. Tapi bagi peserta BPJS yang membayar dari kantong sendiri, naiknya iuran tentu memberatkan. Apalagi pasien yang belum pernah merasakan berobat atau pernah berobat dengan kartu BPJS tapi mendapat pelayanan yang kurang memuaskan dibanding dengan menggunakan asuransi kesehatan swasta.Iuran BPJS mirip-mirip dengan dengan arisan kuburan. Sejatinya, tak ada yang ingin mengambil jatah duluan. Kawan saya, Elfrida beberapa tahun lalu ikut arisan kuburan. Pesertanya adalah para tetangga satu kompleks perumahan. Mereka bikin arisan kuburan untuk membeli lahan kuburan. Lahan milik warga dibayar dengan cara mencicil. Tidak satupun dari peserta arisan kuburan ingin menempati lebih jatah tanah seluas 2 x 1 meter persegi. Elfrida dan para tetangganya bergotong royong agar saat tiba dipanggil Yang Maha Kuasa sudah tidak meninggalkan beban lagi urusan makam.Jadi, bagi para peserta BPJS yang belum menggunakan kartunya seharusnya bersyukur karena dikaruniai tetap sehat wal afiat. Sebaliknya, menurut anggota DPR RI dokter Tjiptaning, para dokter juga seharusnya tidak melakukan diskriminasi pelayanan terhadap pasien BPJS kelas tiga. " Kalo dapet pasien BPJS, menyapanya dengan cemberut," ujarnya di DPR beberapa hari lalu.Namun tidak banyak dokter yang cemberut jika melayani pasien BPJS. Beberapa tahun silam sebelum BPJS diwajibkan untuk seluruh warga negera, warga miskin di Jakarta diberikan Kartu Jakarta Sehat. Acep, tukang ojek pangkalan berkisah saat berobat ke Puskesmas Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Menurut Asep, dokternya baik. "Gue periksa ke dokter, kata dokternya gue sakit jantung. Dokternya nanya, punya kartu Jakarta Sehat? gue gak tahu. Untung bini gue bawa,"ujarnya.Dokter tersebut kemudian menulis surat rujukan agar Asep mendapat perawatan di RS Harapan Kita, Jakarta. "Abis ratusan juta kali, gak tahu dah berapa persisnya. Gak bayar dan masih suka periksa,"ungkapnya.Asep setahu saya bukan pengemar Iwan Fals. Jadi, kemungkinan dia juga tidak tahu potongan syair,
"kalau diantara kita ada yang jatuh sakit tak perlu ke dokte, sebab ongkos dokter di sini, terkait di awan tinggi."
Yang saya tahu, sampai saat ini, Asep terlihat sehat dan dia tak perlu membayar ongkos dokter. Kalo bagaimana ekspresi dokter saat memeriksanya, saya tidak tahu dan tidak mau tahu. Biarlah menjadi rahasia Asep dan Tuhan Yang Maha Penyembuh.Chairul Achir | Jakarta