Webinar MIPI: Pro Kontra Penjabat Kepala Daerah dalam Perspektif Ilmu Pemerintahan

Webinar MIPI Pro Kontra Penjabat Kepala Daerah dalam Perspektif Ilmu Pemerintahan (Foto Istimewa)
Webinar MIPI Pro Kontra Penjabat Kepala Daerah dalam Perspektif Ilmu Pemerintahan (Foto Istimewa) (Foto : )
Mantan Dirjen Otda Kemendagri Soni Sumarsono menjelaskan, dalam perspektif ilmu pemerintahan sedetik pun tidak boleh ada jabatan kepala daerah yang kosong.
Kekosongan itu harus diisi untuk memastikan seluruh fungsi penyelenggaraan pemerintahan berjalan. Selanjutnya, dalam hal kebutuhan yang mendesak tersebut, kebijakan harus diambil untuk mencapai tujuan strategis berdasarkan koridor peraturan yang ada.“Kewenangan yang melekat pada KDH, akan melekat dalam diri Pj. KDH sepenuhnya. Terkecuali hal-hal tertentu yang karena sifatnya strategis, harus dikendalikan pusat melalui persetujuan Mendagri,” jelasnya.Dia menambahkan, penunjukan Pj. KDH merupakan operasionalisasi konsep delegasi (political appointed) kekuasaan presiden dan bukan konsep pemilihan (political elected) sebagaimana kepala daerah.Sejauh persyaratan administrasi sebagai Pj. terpenuhi, dinilai memiliki kompetensi, dan disetujui presiden maka secara normatif sah. Konstruksi pola kekuasaan penunjukan Pj. KDH ini sesuai regulasi bersifat sentralistik.Konsekuensi logisnya, pertanggungjawabannya vertikal Pj. KDH kepada Presiden/Mendagri, bukan kepada rakyat melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) setempat. Melengkapi penjelasan Soni Sumarsono, Guru Besar IPDN dan Pendiri i-Otda Djohermansyah Djohan membeberkan perbedaan teoritik antara kepala daerah yang ditunjuk (appointed) dan mereka yang dipilih melalui pemilihan umum (elected executive).Pj. yang ditunjuk di antaranya dicirikan dengan legitimasi rendah, relasi dengan rakyat lemah karena bukan pilihan rakyat, menjalankan kewenangan relatif terbatas, karier berbasis pada meritrokasi/prestasi, memiliki pengetahuan daerah dan masa jabatan yang terbatas, hingga rawan intervensi kekuasaan.Sementara itu, mereka yang dipilih langsung lewat jalur pemilihan umum (elected) dicirikan dengan legitimasi tinggi, relasi dengan rakyat kuat, menjalankan kewenangan penuh, berkarier berbasis popularitas dan akseptabilitas, maja jabatan lama, dan “orang” daerah menguasi penuh lokalitas.“Kekosongan penjabat ini lebih karena tidak ada lagi kepala daerahnya di sana. Sehingga oleh sebab itu, regulasi yang ada itu enggak cukup mampu menampung keadaan baru, not sufficient enough. Karena itu perlu ada terobosan hukum, aturan-aturan baru,” ujarnya.