Dari Pandemi ke Endemi, Dari Tak Berani Jadi Berani

Dari Pandemi ke Endemi, Dari Tak Berani Jadi Berani (Foto Ilustrasi-Pixabay)
Dari Pandemi ke Endemi, Dari Tak Berani Jadi Berani (Foto Ilustrasi-Pixabay) (Foto : )
Virus Covid-19 akan dianggap biasa. Paparan, sebaran dan gejala penyakit yang diakibatkannya tidak lagi dianggap sangat serius dan mematikan. Mengingat program vaksinasi nasional sudah menyentuh angka 80%. Sehingga muncul wacana status Pandemi Covid-19 akan berubah menjadi Endemi Covid-19.
Bepergian ke luar kota tidak perlu lagi menunjukan hasil tes negative antigen dan PCR. Dengan syarat pelaku perjalanan sudah melakukan dua atau tiga kali vaksin Covid-19.Bagi pelaku perjalanan dalam negeri yang baru melakukan satu kali vaksin Covid-19 tetap wajib menunjukkan hasil negatif sebelum keberangkatan, dengan kurun waktu 3 X 24 jam untuk PCR dan 1 X 24 jam untuk antigen.Sementara, pelaku perjalanan dalam negeri dengan kondisi kesehatan komorbid dan berpenyakit khusus sehingga tidak bisa menerima dosis vaksin sesuai anjuran tetap wajib menunjukan hasil test antigen dan PCR.Usia di bawah 6 tahun boleh melakukan perjalanan dengan syarat ada pendamping dewasa dan menerapkan protokol kesehatan yang ketat.Kabar menggembirakan ini tertuang melalui Surat Edaran Nomor 11 Tahun 2022 tentang Ketentuan Perjalanan Orang dalam Negeri Pada Masa Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) yang ditandatangani Ketua Satgas Penanganan Covid-19, Letjen TNI Suharyanto, Selasa kemarin (8/3).Keluarnya surat edaran tersebut mengisyaratkan kondisi pandemi Covid-19 sedang bertransisi dari pandemi menuju kondisi endemi. Kondisi dimana masyarakat akan hidup berdampingan dengan Covid-19.Kebijakan transisi dan mengubah status Covid-19 dari pandemi ke endemi bukan tanpa perhitungan. Semua dilakukan melalui tahapan, evaluasi dan analisa data yang matang melibatkan pakar kesehatan dan ahli epidemiolog. Itu penjelasan Menko Marves, Luhut Binsar Panjaitan, dalam jump pers via youtube Sekretariat Presiden, Senin lalu (7/3).Jauh-jauh hari di awal bulan Maret lalu, Presiden Joko Widodo pun menitip pesan kepada Tenaga Ahli Utama Staf Presiden, Abraham Wirotomo, agar tidak tergesa-gesa dan memperhatikan aspek kehati-hatian dalam mengubah status wabah Covid-19. Presiden tidak ingin kita kembali seperti situasi awal pandemi.Perubahan status wabah Covid-19 memang tidak boleh sembarangan diputuskan. Ada otoritas badan kesehatan dunia atau WHO yang akan melegitimasi layak tidaknya sebuah negara mengubah statusnya. Sebagaimana diingatkan Juru Bicara Satgas Penanganan Covid-19, Wiku Adisasmito, dalam sebuah konfrensi pers virtual, Selasa (8/3)."Penetapan status endemi merupakan otoritas WHO. Sebab, untuk mengubah yang berdampak pada banyak negara diperlukan perbaikan kondisi kasus secara global," kata Wiku.Endemi adalah kondisi dimana suatu penyakit yang berjangkit di sebuah wilayah dengan populasi atau area geografis tertentu terkendali dan teratasi penyebarannya. Kemunculan dan keadaannya konstan terjaga antara yang terpapar dan penanggulangannya pengobatannya. Seperti malaria dan demam berdarah, misalnya.Sementara pandemi adalah wabah penyakit yang serempak menyebar di banyak wilayah yang sangat luas meliputi negara dan benua. Penanggulannya tidak linear dengan penyebarannya karena belum adanya obat atau vaksin serta fasilitas kesehatan yang mencukupi. Seperti Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) yang menghantui penduduk bumi sejauh ini dan belakangan mulai kurang “serem”.Mau pandemi atau endemi akhirnya, masyarakat tetap harus bijak menjalani kehidupan yang sehat. Pengalaman lebih dari 2 tahun dihajar wabah Covid-19, kiranya menjadi pelajaran yang sangat berharga, betapa kesehatan dan hidup diantara orang sehat adalah segalanya dalam beraktifitas.Dari pandemi ke endemi, dari tak berani jadi berani. Berani berdamai dengan Covid-19, sebagaimana anjuran Presiden Jokowi di bulan Mei 2020, saat Covid-19 mulai mengganas.“Berdampingan bukan berarti menyerah, tapi menyesuaikan diri,” kata Pak Jokowi waktu itu di twitternya.
Selamat menyongsong endemi.